Disusun Oleh:
1) Qonita Shabrina 120422425904
2) Ratna Ardiyanti 120422425905
Offering P
Jurusan S1 Akuntansi
Universitas Negeri Malang
AKUNTANSI YANG DIRANCANG
1.
Hipotesis
salah saji keuangan secara selektif
Informasi
akuntansi pada dasarnya adalah wakil akuntansi yang dipergunakan oleh para
pengambil keputusan yang tidak mengandalkan observasi kejadian-kejadian secara
langsung. Suatu manipulasi dari perwakilan ini memberikan kesempatan kepada
para pengambil keputusan untuk mengirimkan sinyal-sinyal yang membentuk
persepsi orang-orang terhadap kinerja manajerial, yang dimungkinkan oleh adanya
aturan-aturan yang arbitrer, rumit, dan menyesatkan. Hipotesis salah saji
keuangan secara selektif diasumsikan melintasi kedua sektor publik dan pribadi
“karena pada partisipan di kedua sektor tersebut dimotivasi untuk mendukung
standar-standar yang secara selektif membuat salah saji dari realitas ekonomi
ketika hal tersebut sesuai dengan tujuan mereka. Ini berlaku untuk para
manajer, pemegang saham, auditor,d an penyusun standar.
1. Para manajer lebih menyukai standar
pelaporan yang “longgar” dibandingkan dengan standar yang berlaku ketat, karena
hal ini memungkinkan (a) pergesera laba
di antara tahun yang lebih menguntungkan bagi pencapaian bonus, (b) memberikan
kesan kepada pemegang saham, dan (c) melindungi posisi mereka dengan mencegah
terjadinya pengambilalihan.
2. Para pemegang saham juga mendapatkan
keuntungan dari longgarnya standar jika dilihat dari perataan laba yang
dilaporkan oleh manajer akan menurunkan volatilitas dari laba yang dilaporkan,
menurunkan persepsi pasar atas risiko kegagalan dan meningkatkan nilai perusahaan.
3. Auditor mungkin memilih aturan
pelaporan yang sama yang didistorsikan realitas ekonomi untuk harmonisasi
dengan klien, atau aturan yang kaku ketika mereka menginginkan tumbal
yang kuat sebagai pelindung.
4. penyusun standar mungkin memilih
hipotesis salah saji yang dilakukan sendiri untuk proteksi pribadi dan
altruisme.
5. Para akademisi mungkin memilih
hipotesis salah saji secara selektif karena memberikan kesempatan bagi mereka
untuk mengemukakan teori dan proposal sebagai imbalan atas kenaikan remunerasi
dan gensi.
Situasi ini menuntut adanya suatu
perubahan dengan mengisolasi proses penentuan standar dari jangkauan regulator.
Revsine mengusulkan proses empat langkah berikut ini:
1. mendidik
publik,
2. memperbaiki
proses pemeliharaan dan pengawasan para penyusun standar,
3. menetapkan
pengaturan pendanaan baru,
4. menciptakan independensi bagi para
pengusul standar.
2. Perataan
Laba
Pemakai laporan keuangan dapat dibedakan menjadi
beberapa pihak yaitu : manajemen, pemegang saham, kreditor, pemerintah,
karyawan perusahaan, pemasok, konsumen dan masyarakat umum lainnya yang pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu pihak internal dan
eksternal. Dari pihak-pihak tersebut, manajemen merupakan pihak yang
berkewajiban menyusun laporan keuangan karena mereka berada di dalam perusahaan
dan merupakan pengelola aktiva perusahaan secara langsung. Di lain pihak,
pemegang saham, kreditor dan pemerintah sebagai pihak yang menanamkan modalnya
pada perusahaan, memberikan pinjaman pada perusahaan serta memiliki kepentingan
dalam kaitannya untuk memperoleh dana pembangunan dalam bentuk pajak merupakan
pihak-pihak yang sangat berkepentingan dengan informasi laporan keuangan yang
disiapkan oleh manajemen, tetapi tidak menyusun laporan keuangan.
Di antara pihak-pihak yang telah disebutkan di atas,
terdapat pertentangan kepentingan antara kelompok internal dan eksternal
yang dapat mendorong timbulnya konflik yang merugikan bagi pihak-pihak yang
bertentangan tersebut. Pertentangan yang dapat terjadi antara pihak-pihak
tersebut antara lain :
1. Manajemen berkeinginan meningkatkan
kesejahteraannya sedangkan pemegang saham berkeinginan meningkatkan
kekayaannya;
2. Manajemen berkeinginan memperoleh
kredit sebesar mungkin dengan bunga rendah sedangkan kreditor hanya ingin
memberi kredit sesuai dengan kemampuan perusahaan;
3. Manajemen berkeinginan membayar pajak
sekecil mungkin sedangkan pemerintah ingin memungut pajak setinggi mungkin.
Media komunikasi yang umum digunakan untuk menghubungkan
pihak-pihak ini adalah laporan keuangan yang disusun oleh manajemen sebagai
pihak internal untuk mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada pihak-pihak
eksternal.
Secara umum, semua bagian dari laporan keuangan yang
terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan laba ditahan, laporan arus kas
dan catatan atas laporan keuangan adalah keseluruhan laporan keuangan yang
disajikan. Kecenderungan lebih memperhatikan laba yang terdapat pada laporan
laba rugi ditemukan oleh banyak peneliti (Ball and Brown 1968; Beaver et.al
1968, Ohlson and Shroff 1992). Situasi ini disadari oleh manajemen, terutama
dari kalangan manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi tersebut,
sehingga mendorong timbulnya disfunctional behaviour (perilaku yang tidak semestinya).
Adapun bentuk perilaku yang tidak semestinya yang timbul dalam hubungannya
dengan laba adalah praktik perataan laba (income smoothing).
Praktik perataan laba telah dikenal sebagai praktik
yang logis dan rasional. Dalam penelitiannya, Beidleman (1973) percaya bahwa
manajemen meratakan penghasilan untuk menciptakan laba yang stabil dan
mengurangi covariance dari market return. Sedangkan Barnea, Ronen dan Sadan
(1975) serta Ronen dan Sadan (1981) menyatakan bahwa perataan laba dilakukan
oleh para manajer untuk mengurangi fluktuasi dari laba yang dilaporkan dan
meningkatkan kemampuan investor untuk meramalkan arus kas di masa datang. Pada
intinya, praktik perataan laba ini diharapkan dapat memberikan pengaruh yang
menguntungkan bagi nilai saham serta penilaian kinerja manajer.
Berdasarkan pada pengaruh manipulasi terhadap laba,
Ilmainir (1993) menyatakan bahwa usaha manajemen itu dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu usaha untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba dan usaha untuk
mengurangi fluktuasi laba (perataan laba). Secara eksplisit, usaha untuk
memaksimumkan atau meminimumkan laba merupakan hipotesis dalam berbagai
penelitian mengenai konsekuensi ekonomi dari pilihan akuntansi. Sedangkan usaha
untuk mengurangi fluktuasi laba adalah suatu bentuk manipulasi laba agar jumlah
laba suatu periode tidak terlalu berbeda dengan jumlah laba periode sebelumnya.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, praktik
perataan laba merupakan fenomena yang umum dan dilakukan di banyak negara.
Namun demikian, praktik perataan laba ini, jika dilakukan dengan sengaja dan
dibuat-buat dapat menyebabkan pengungkapan laba yang tidak memadai atau
menyesatkan. Sebagai akibatnya, investor mungkin tidak memperoleh informasi
akurat yang memadai mengenai laba untuk mengevaluasi hasil dan risiko dari
portofolio mereka. Penelitian yang tidak menyetujui adanya praktik perataan
laba antara lain dilakukan oleh Hector (1989) yang menyatakan bahwa perataan
laba sebagai penyalahgunaan yang umum dalam pelaporan keuangan seharusnya
diwaspadai oleh pemakainya dan McHugh (1992) yang menyatakan bahwa perataan
laba merupakan manipulasi dari laporan keuangan.
Gordon (1964) menyatakan bahwa perataan laba dapat mengurangi kesalahan dari pemegang saham dalam mengekstrapolasi laba periode lalu untuk memperkirakan laba di masa datang. Selanjutnya Ronen dan Sadan (1981) juga menyatakan bahwa perataan laba konsisten dengan keinginan manajemen untuk memaksimalkan kompensasi. Dye (1988) menunjukkan, dalam pengertian keagenan, bahwa manajer yang menolak risiko yang terbebas dari hutang dan pinjaman di pasar modal memiliki insentif untuk meratakan laba. Hal serupa juga dinyatakan oleh Trueman dan Titman (1988) yang menunjukkan bahwa meskipun dalam skenario pasar dengan kreditor, alternatif yang lebih disukai manajer adalah yang menghasilkan aliran laba yang lebih merata.
Gordon (1964) menyatakan bahwa perataan laba dapat mengurangi kesalahan dari pemegang saham dalam mengekstrapolasi laba periode lalu untuk memperkirakan laba di masa datang. Selanjutnya Ronen dan Sadan (1981) juga menyatakan bahwa perataan laba konsisten dengan keinginan manajemen untuk memaksimalkan kompensasi. Dye (1988) menunjukkan, dalam pengertian keagenan, bahwa manajer yang menolak risiko yang terbebas dari hutang dan pinjaman di pasar modal memiliki insentif untuk meratakan laba. Hal serupa juga dinyatakan oleh Trueman dan Titman (1988) yang menunjukkan bahwa meskipun dalam skenario pasar dengan kreditor, alternatif yang lebih disukai manajer adalah yang menghasilkan aliran laba yang lebih merata.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ashari dkk
(1994), ditemukan ada praktik perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di
Singapore Stock Exchange. Ashari et al. melihat empat faktor sebagai faktor
yang mempengaruhi praktik perataan laba. Adapun faktor-faktor tersebut adalah
ukuran perusahaan, profitabilitas, jenis industri dan nasionalitas kepemilikan. Tetapi
Ashari (1994) Jin dan Machfoedz (1998), dan Priyo (2001) tidak membuktikan
bahwa hal-hal tersebut sebagai faktor yang mempengaruhi perataan laba. Ilmainir
(1993) seperti yang dikutip Kiky (2002) menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak
berpengaruhnya ukuran perusahaan terhadap perataan laba. Menurut pendapatnya,
perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan
pemerintah antara negara maju dan negara berkembang.
3. Manajemen
Laba
3.1 Pengertian Manajemen Laba
Copeland (1968 :10) dalam Utami (2005) mendefinisikan
manajemen labasebagai, “some ability to increase or decrease reported net
income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen
untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai
dengan keinginan manajer. Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) membagi
cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.
Pertama, melihatnya sebagai perilaku
oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak
kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings
management).
Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient
contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi
manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam
mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak
yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai
pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan
laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
3.2 Pengertian Manajemen Laba menurut ahli
Pengertian manajemen laba menurut
Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang menyatakan bahwa manajemen
laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan
keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan
untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
Pengertian manajemen laba menurut
Assih dan Gudono (2000) manajemen laba adalah suatu proses yang
dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting
Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.
Pengertian manajemen laba menurut
Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen laba adalah tindakan manajer
yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi
tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan
profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Pengertian manajemen laba menurut
Healy dan Wallen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement dalam
laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan,
sehingga menyesatkan stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung
pada angka akuntansi.
Manajemen laba adalah campur tangan
dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan
diri sendiri. Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi
kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan
keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka
laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan
Na’im, 2000 dalam Rahmawati dkk, 2006).
Manajemen laba merupakan area yang
kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Manajemen laba tidak
selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak
selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba. Manajemen laba
tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi
akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan denganpemilihan metode akuntansi yang
secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan GAAP.
Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen
laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai
laba untuk mengevaluasi return dan resiko portofolionya (Ashari dkk, 1994 dalam
Assih, 2004).
3.3 Faktor-faktor pendorong manajemen laba
Dalam Positif Accounting Theory terdapat
tiga faktor pendorong yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan
Zimmerman, 1986), yaitu:
1. Bonus Plan
Hypothesis
Manajemen
akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu
bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba lebih
banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant
Hypothesis
Manajer
perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih
metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994 dalam
Rahmawati dkk, (2006). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan
pihak eksternal.
3. Political Cost
Hypothesis
Semakin
besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih
metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba
yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan
peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan
lain-lain.
4. Kreativitas
dalam Akutansi
4.1 Big Bath Accounting (Akuntansi mandi
besar)
Taking Bath, atau disebut juga ‘big
bath’. Pola ini dapat terjadi selama ada tekanan organisasional pada saat
pergantian manajemen baru yaitu dengan mengakui adanya kegagalan atau defisit
dikarenakan manajemen lama dan manajemen baru ingin menghindari kegagalan
tersebut. Teknik ini juga dapat mengakui adanya biaya-biaya pada periode
mendatang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak
menguntungkan yang tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya,
manajemen melakukan ‘pembersihan diri’ dengan membebankan perkiraan-perkiraan
biaya mendatang dan melakukan ‘clear the decks’. Akibatnya laba periode
berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
4.2 Akuntansi kreatif
Banyak yang mengatakan bahwa akuntansi
kreatif adalah sebuah kegiatan memanipulasi laporan keuangan guna
menyajikan sebuah laporan sesuai keinginan.
Pengertian tersebut melekat pada istilah
akuntansi kreatif. Namun tidak semua akuntansi kreatif itu adalah sebuah
kecurangan. Misalnya saja penyederhanaan beberapa bentuk laporan atau
penggabungan sebuah biaya menjadi satu dalam biaya lain-lain karena di anggap
jarang timbul.
Namun memanglah akuntansi kreatif itu
sendiri adalah tidak di benarkan ketika akan melakukan kecurangan dan
manipulasi data keuangan.
·
Tujuan Akuntansi Kreatif.
Tujuan dari akuntansi kreatif ada
bermacam-macam, misalnya saja untuk melakukan manipulasi data pajak atau untuk
melancarkan pengajuan kredit keuangan kepada lembaga keuangan bank. Ada pula
tujuan lain seperti menyembunyikan kinerja buruk perusahaan, menyembunyikan
asset sebenarnya dari perusahaan dan masih banyak lagi contoh kasus-nya.
Kemunculan dari akuntansi kreatif
biasanya di karenakan tuntutan pasar pada perusahaan untuk membuat kondisi
menguntungkan.
·
Dampak akuntansi Kreatif
Dampak dari praktek akuntansi kreatif
salah satunya adalah penurunan kualitas laporan keuangan perusahaan. Dan
biasanya keputusan perusahaan hanya menguntungkan Mayoritas pemilik perusahaan
sebagai pengontrol jalannya perusahaan.
Tenaga akuntan akan merasa terintimidasi
di mana pimpinan perusahaan ingin membuat sebuah laporan keuangan yang sama
sekali bertentangan dengan kaidah akuntansi yang ada dan tiga prinsip akuntan
yaitu Jujur, Disiplin dan teliti. Dimana kejujuran seorang akuntan harus di
hilangkan saat praktek akuntansi kreatif dipaksakan.
Maka memanglah sangat berbahaya ketika
praktik akuntansi kreatif ini dilaksanakan oleh sebuah perusahaan
yang di perintahkan langsung oleh pimpinan atau pemilik perusahaan. Karena
controling atas kebenaran data adalah wewenang dari pihak perusahaan.
Namun tetap saja mudah dalam mendeteksi
sebuah praktek akuntansi ini jika terjadi keteledoran dalam menyajikan data
karena seorang akuntan juga tau cara membaca laporan yang ada keganjilan di
dalamnya.
5. Kecurangan
dalam Akuntansi
5.1 Kecurangan
Korporat
Kecurangan korporat atau kejahatan
ekonomi pada umumnya dilakukan oleh pejabat, eksekutif, dan/atau manajer pusat
laba dari perusahaan publik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi jangka pendek
mereka. Pada kenyataan, mungkin gaya manajemen yang berorientasi pada jangka
pendek yang memnciptakan adanya kebutuhan untuk melakukan kecurangan korporat,
mengingat tekanan untuk meningkatkan profitabilitas yang ada dalam mengahadapi
kecilnya peluang, dan kebutuhan untuk mengambil risiko-risiko yang tidak
bijaksana atas sumber daya perusahaan. Nyatanya, lebih dari sekedar tekanan
untuk profitabilitas jangka pendek belaka, keserakahan ekonomi dan ketamakan
juga menodai nilai-nilai sosial dan mengarah kepada kecurangan korporat.
5.2 Kecurangan
dalam pelaporan keuangan
·
Salah Saji Material (Material
misstatement)
Kesalahan
pencatatan akuntansi dapat menyebabkan salah saji material pada pelaporan
keuangan. Salah saji material pada pelaporan keuangan mengacu pada pengertian
bahwa keputusan pengguna laporan keuangan akan terpengaruh/terkecoh oleh
ketidakakuratan informasi yang terjadi karena salah saji tersebut. Secara umum
salah saji material dapat dikategorikan menjadi 2: kualitatif dan kuantitatif.
Contoh salah saji yang kategori pertama adalah kesalahan pengelompokan rekening
di pelaporan keuangan. Semisal pinjaman dari bank yang berumur kurang dari 1
tahun (current) dilaporkan di rekening pinjaman jangka panjang (non-current).
Efek dari kesalahan ini bisa berakibat pada tidak akuratnya perhitungan rasio
lancar (current ratio) dan perbandingan hutang pada modal (debt
to equity ratio). Contoh salah saji kategori kedua adalah kesalahan pencatatan
piutang dari pelanggan. Semisal, angka yang seharusnya $1.56 juta tercatat
menjadi $1.65 juta akibat kesalahan analisis data. Hal ini menyebabkan aktiva
perusahaan menjadi lebih besar dari seharusnya.
·
Kesalahan Akuntansi
Kesalahan
pencatatan akuntansi juga bisa dikategorikan menjadi 2: kelalaian dan
kecurangan. Kelalaian (error) mengacu pada kesalahan akuntansi yang
dilakukan secara tidak sengaja diakibatkan oleh salah perhitungan, salah
pengukuran, salah estimasi serta salah interpretasi standar akuntansi. Kategori
kedua, kecurangan (fraud) mengacu kepada kesalahan akuntansi yang
dilakukan secara sengaja dengan tujuan meyesatkan pembaca/pengguna laporan
keuangan. Tindakan ini dilakukan dengan motivasi negatif guna mengambil
keuntungan sebagian pihak. Singkatnya, kedua kategori kesalahan akuntansi di
atas dibedakan oleh motif tujuannya, apakah sengaja (unintentional) atau
sengaja (intentional).
·
Kecurangan Akuntansi
Karena
kelalaian akuntansi sifatnya tidak disengaja dan standard akuntansi pun
memberikan “ruang” untuk memperbaikinya, maka tipe kesalahan ini tidaklah
terlalu patut untuk dirisaukan. Yang menjadi masalah saat ini adalah kesalahan
akuntansi yang disengaja (fraud) yang selanjutnya akan kita sebut
sebagai kesalahan akuntansi. Berdasarkan tipe transaksinya, kecurangan
akuntansi dapat dibagi menjadi: menjual lebih banyak (selling more),
pembebanan lebih sedikit (costing less), memiliki lebih banyak (owning
more), memiliki lebih sedikit (owning less), menyajikan lebih baik (presenting
it better) dan tipe lain kecurangan akuntansi (others).
5.3 Kejahatan kerah putih
Kejahatan
Kerah Putih (White Collar Crime) adalah Suatu tindak kecurangan yang
dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada sector pemerintahan atau sector
swasta, yang memiliki posisi dan wewenang yang dapat mempengaruhi suatu
kebijakan dan keputusan.Menurut Federal Beureau Investigation (FBI)
kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah berbohong, curang, dan
mencuri. Istilah ini diciptakan pada tahun 1939 dan sekarang identik dengan
berbagai macam penipuan yang dilakukan oleh para profesional bisnis dan
pemerintah. Sebuah kejahatan tunggal dapat menghancurkan sebuah perusahaan,
keluarga bahkan menghancurkan atau memusnahkan kehidupan mereka melalui
tabungan, atau investasi biaya miliaran dolar (atau bahkan tiga, seperti dalam
kasus Enron). Penipuan semakin canggih dari sebelumnya, dan diperlukan orang
yang berdedikasi untuk menggunakan keterampilan melacak pelaku penipuan dan
berhenti bahkan sebelum pelaku kejahatan mulai. Kejahatan kerah putih ini
biasanya merupakan lanjutan dari kecurangan yang dilakukan oleh seseorang.
Menurut Dony Kleden Rohaniwan (2011)
seorang Pemerhati politik, kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah
istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga
pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok
orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih
sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh
hukum.Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan
pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan
vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang
memungkinkan terjadinya sistem patronase. Contoh kejahatan kerah putih adalah
pencucian uang (money laundering), penipuan kepailitan (fraud bankruptcy), penipuan
perusahaan, penipuan kredit rumah, penipuan asuransi, penipuan saham dan efek,
penipuan lewat internet, kredit fiktif, dan penipuan lain yang berhubungan
dengan uang
Menurut Gunadi (2009) dalam kejahatan
kerah putih yang juga disebut kejahatan keuangan berlaku beberapa aksioma
yaitu:
·
Kecurangan selalu tersembunyi.
·
Pelaku tidak menandatangani dokumen
(memerintahkan orang lain untuk menandatangani).
·
Pelaku tidak berada di tempat kejadian
perkara (TKP).
·
Pelaku ingin menikmati hasil
kejahatannya.
Oleh karena itu, maka harus dilakukan
investigasi yang tepat untuk merekam jejak transaksi finansial (follow the
money) untuk menghasilkan temuan yang berkualitas dan sulit untuk dipungkiri.
5.4 Kegagalan audit
Kegagalan audit adalah suatu situasi
di dalam audit dimana auditor sampai pada dan/atau mengeluarkan pendapat
auditor yang salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan-persyaratan/standar
pemeriksaan yang berlaku. Bila terjadi kegagalan perusahaan, mungkin terdapat
atau tidak terdapat kegagalan audit.
Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan pendapat wajar tanpa pengecualian, namun pada kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan semua kesalahan laporan keuangan yang material. Audit terbatas pada pemilihan sampel, dan kesalahan yang disembunyikan dengan sangat rapi sulit ditemukan. Karenanya ada risiko bahwa audit tidak akan mengungkapkan kesalahan yang materil dalam laporan keuangan.
Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan pendapat wajar tanpa pengecualian, namun pada kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan semua kesalahan laporan keuangan yang material. Audit terbatas pada pemilihan sampel, dan kesalahan yang disembunyikan dengan sangat rapi sulit ditemukan. Karenanya ada risiko bahwa audit tidak akan mengungkapkan kesalahan yang materil dalam laporan keuangan.
Kebanyakan profesional akuntansi setuju
bila auditor gagal mengungkapkan kesalahan yang material lalu pendapat auditor
tersebut salah maka akuntan publik tersebut diminta tetap mempertahankan kualitas
auditnya, berarti terjadi kegagalan audit, dan kantor akuntan tersebut harus
bertanggung jawab kepada mereka yang menderita kerugian itu. Dalam prakteknya
sulit untuk menentukan bilamana auditor gagal menggunakan keahliannya karena
rumitnya proses auditing. Namun begitu, auditor yang gagal dalam menjalankan
praktik auditnya dapat berakibat buruk bagi kantor akuntannya.
Kesulitan timbul bila terjadi kegagalan
dalam perusahaan, tetapi bukan kegagalan audit . apabila sebuah perusahaan
pailit, atau tidak dapat membayar hutang-hutangnya, maka pemakai laporan
keuangan umumnya mengklaim telah terjadi kegagalan audit khususnya apabila
pendapat auditor terakhir menyatakan laporan keuangan tersebut wajar.
0 komentar:
Posting Komentar