Minggu, 21 September 2014

Akuntansi yang Dirancang

Diposting oleh Unknown di 08.13
Disusun Oleh:
1) Qonita Shabrina 120422425904
2) Ratna Ardiyanti 120422425905

Offering P
Jurusan S1 Akuntansi
Universitas Negeri Malang



AKUNTANSI YANG DIRANCANG

1.                  Hipotesis salah saji keuangan secara selektif
Informasi akuntansi pada dasarnya adalah wakil akuntansi yang dipergunakan oleh para pengambil keputusan yang tidak mengandalkan observasi kejadian-kejadian secara langsung. Suatu manipulasi dari perwakilan ini memberikan kesempatan kepada para pengambil keputusan untuk mengirimkan sinyal-sinyal yang membentuk persepsi orang-orang terhadap kinerja manajerial, yang dimungkinkan oleh adanya aturan-aturan yang arbitrer, rumit, dan menyesatkan. Hipotesis salah saji keuangan secara selektif diasumsikan melintasi kedua sektor publik dan pribadi “karena pada partisipan di kedua sektor tersebut dimotivasi untuk mendukung standar-standar yang secara selektif membuat salah saji dari realitas ekonomi ketika hal tersebut sesuai dengan tujuan mereka. Ini berlaku untuk para manajer, pemegang saham, auditor,d an penyusun standar.
1.         Para manajer lebih menyukai standar pelaporan yang “longgar” dibandingkan dengan standar yang berlaku ketat, karena hal ini memungkinkan (a)  pergesera laba di antara tahun yang lebih menguntungkan bagi pencapaian bonus, (b) memberikan kesan kepada pemegang saham, dan (c) melindungi posisi mereka dengan mencegah terjadinya pengambilalihan.
2.         Para pemegang saham juga mendapatkan keuntungan dari longgarnya standar jika dilihat dari perataan laba yang dilaporkan oleh manajer akan menurunkan volatilitas dari laba yang dilaporkan, menurunkan persepsi pasar atas risiko kegagalan dan meningkatkan nilai perusahaan.
3.         Auditor mungkin memilih aturan pelaporan yang sama yang didistorsikan realitas ekonomi untuk harmonisasi dengan klien, atau aturan yang kaku ketika mereka menginginkan tumbal yang kuat sebagai pelindung.
4.         penyusun standar mungkin memilih hipotesis salah saji yang dilakukan sendiri untuk proteksi pribadi dan altruisme.
5.         Para akademisi mungkin memilih hipotesis salah saji secara selektif karena memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengemukakan teori dan proposal sebagai imbalan atas kenaikan remunerasi dan gensi.
            Situasi ini menuntut adanya suatu perubahan dengan mengisolasi proses penentuan standar dari jangkauan regulator. Revsine mengusulkan proses empat langkah berikut ini:
1.         mendidik publik,
2.         memperbaiki proses pemeliharaan dan pengawasan para penyusun standar,
3.         menetapkan pengaturan pendanaan baru,
4.         menciptakan independensi bagi para pengusul standar.

2.         Perataan Laba
Pemakai laporan keuangan dapat dibedakan menjadi beberapa pihak yaitu : manajemen, pemegang saham, kreditor, pemerintah, karyawan perusahaan, pemasok, konsumen dan masyarakat umum lainnya yang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu pihak internal dan eksternal. Dari pihak-pihak tersebut, manajemen merupakan pihak yang berkewajiban menyusun laporan keuangan karena mereka berada di dalam perusahaan dan merupakan pengelola aktiva perusahaan secara langsung. Di lain pihak, pemegang saham, kreditor dan pemerintah sebagai pihak yang menanamkan modalnya pada perusahaan, memberikan pinjaman pada perusahaan serta memiliki kepentingan dalam kaitannya untuk memperoleh dana pembangunan dalam bentuk pajak merupakan pihak-pihak yang sangat berkepentingan dengan informasi laporan keuangan yang disiapkan oleh manajemen, tetapi tidak menyusun laporan keuangan. 
Di antara pihak-pihak yang telah disebutkan di atas, terdapat pertentangan kepentingan antara kelompok internal dan eksternal  yang dapat mendorong timbulnya konflik yang merugikan bagi pihak-pihak yang bertentangan tersebut. Pertentangan yang dapat terjadi antara pihak-pihak tersebut antara lain :
1.           Manajemen berkeinginan meningkatkan kesejahteraannya sedangkan pemegang saham berkeinginan meningkatkan kekayaannya;
2.           Manajemen berkeinginan memperoleh kredit sebesar mungkin dengan bunga rendah sedangkan kreditor hanya ingin memberi kredit sesuai dengan kemampuan perusahaan;
3.           Manajemen berkeinginan membayar pajak sekecil mungkin sedangkan pemerintah ingin memungut pajak setinggi mungkin.
Media komunikasi yang umum digunakan untuk menghubungkan pihak-pihak ini adalah laporan keuangan yang disusun oleh manajemen sebagai pihak internal untuk mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada pihak-pihak eksternal.
Secara umum, semua bagian dari laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan laba ditahan, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan adalah keseluruhan laporan keuangan yang disajikan. Kecenderungan lebih memperhatikan laba yang terdapat pada laporan laba rugi ditemukan oleh banyak peneliti (Ball and Brown 1968; Beaver et.al 1968, Ohlson and Shroff 1992). Situasi ini disadari oleh manajemen, terutama dari kalangan manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya disfunctional behaviour (perilaku yang tidak semestinya). Adapun bentuk perilaku yang tidak semestinya yang timbul dalam hubungannya dengan laba adalah praktik perataan laba (income smoothing).
Praktik perataan laba telah dikenal sebagai praktik yang logis dan rasional. Dalam penelitiannya, Beidleman (1973) percaya bahwa manajemen meratakan penghasilan untuk menciptakan laba yang stabil dan mengurangi covariance dari market return. Sedangkan Barnea, Ronen dan Sadan (1975) serta Ronen dan Sadan (1981) menyatakan bahwa perataan laba dilakukan oleh para manajer untuk mengurangi fluktuasi dari laba yang dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk meramalkan arus kas di masa datang. Pada intinya, praktik perataan laba ini diharapkan dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham serta penilaian kinerja manajer.
Berdasarkan pada pengaruh manipulasi terhadap laba, Ilmainir (1993) menyatakan bahwa usaha manajemen itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba dan usaha untuk mengurangi fluktuasi laba (perataan laba). Secara eksplisit, usaha untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba merupakan hipotesis dalam berbagai penelitian mengenai konsekuensi ekonomi dari pilihan akuntansi. Sedangkan usaha untuk mengurangi fluktuasi laba adalah suatu bentuk manipulasi laba agar jumlah laba suatu periode tidak terlalu berbeda dengan jumlah laba periode sebelumnya.  
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, praktik perataan laba merupakan fenomena yang umum dan dilakukan di banyak negara. Namun demikian, praktik perataan laba ini, jika dilakukan dengan sengaja dan dibuat-buat dapat menyebabkan pengungkapan laba yang tidak memadai atau menyesatkan. Sebagai akibatnya, investor mungkin tidak memperoleh informasi akurat yang memadai mengenai laba untuk mengevaluasi hasil dan risiko dari portofolio mereka. Penelitian yang tidak menyetujui adanya praktik perataan laba antara lain dilakukan oleh Hector (1989) yang menyatakan bahwa perataan laba sebagai penyalahgunaan yang umum dalam pelaporan keuangan seharusnya diwaspadai oleh pemakainya dan McHugh (1992) yang menyatakan bahwa perataan laba merupakan manipulasi dari laporan keuangan.
Gordon (1964) menyatakan bahwa perataan laba dapat mengurangi kesalahan dari pemegang saham dalam mengekstrapolasi laba periode lalu untuk memperkirakan laba di masa datang. Selanjutnya Ronen dan Sadan (1981) juga menyatakan bahwa perataan laba konsisten dengan keinginan manajemen untuk memaksimalkan kompensasi. Dye (1988) menunjukkan, dalam pengertian keagenan, bahwa manajer yang menolak risiko yang terbebas dari hutang dan pinjaman di pasar modal memiliki insentif untuk meratakan laba. Hal serupa juga dinyatakan oleh Trueman dan Titman (1988) yang menunjukkan bahwa meskipun dalam skenario pasar dengan kreditor, alternatif yang lebih disukai manajer adalah yang menghasilkan aliran laba yang lebih merata.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ashari dkk (1994), ditemukan ada praktik perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di Singapore Stock Exchange. Ashari et al. melihat empat faktor sebagai faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba. Adapun faktor-faktor tersebut adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, jenis industri dan nasionalitas kepemilikan. Tetapi Ashari (1994) Jin dan Machfoedz (1998), dan Priyo (2001) tidak membuktikan bahwa hal-hal tersebut sebagai faktor yang mempengaruhi perataan laba. Ilmainir (1993) seperti yang dikutip Kiky (2002) menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak berpengaruhnya ukuran perusahaan terhadap perataan laba. Menurut pendapatnya, perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan pemerintah antara negara maju dan negara berkembang.

3.         Manajemen Laba
3.1       Pengertian Manajemen Laba
Copeland (1968 :10) dalam Utami (2005) mendefinisikan manajemen labasebagai, “some ability to increase or decrease reported net income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer. Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.
Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management). 
Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
3.2       Pengertian Manajemen Laba menurut ahli
Pengertian manajemen laba menurut Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
Pengertian manajemen laba menurut Assih dan Gudono (2000) manajemen laba adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.
Pengertian manajemen laba menurut Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen laba adalah tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Pengertian manajemen laba menurut Healy dan Wallen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Rahmawati dkk, 2006).
Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba. Manajemen laba tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan denganpemilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan GAAP. Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan resiko portofolionya (Ashari dkk, 1994 dalam Assih, 2004).
3.3       Faktor-faktor pendorong manajemen laba
Dalam Positif Accounting Theory terdapat tiga faktor pendorong yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:
1.      Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2.      Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994 dalam Rahmawati dkk, (2006). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3.      Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.

4.         Kreativitas dalam Akutansi
            4.1       Big Bath Accounting (Akuntansi mandi besar)
Taking Bath, atau disebut juga ‘big bath’. Pola ini dapat terjadi selama ada tekanan organisasional pada saat pergantian manajemen baru yaitu dengan mengakui adanya kegagalan atau defisit dikarenakan manajemen lama dan manajemen baru ingin menghindari kegagalan tersebut. Teknik ini juga dapat mengakui adanya biaya-biaya pada periode mendatang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan yang tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen melakukan ‘pembersihan diri’ dengan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang dan melakukan ‘clear the decks’. Akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
4.2       Akuntansi kreatif
·                     Pengertian Akuntansi Kreatif.
Banyak yang mengatakan bahwa akuntansi kreatif adalah sebuah kegiatan memanipulasi laporan keuangan guna menyajikan sebuah laporan sesuai keinginan.
Pengertian tersebut melekat pada istilah akuntansi kreatif. Namun tidak semua akuntansi kreatif itu adalah sebuah kecurangan. Misalnya saja penyederhanaan beberapa bentuk laporan atau penggabungan sebuah biaya menjadi satu dalam biaya lain-lain karena di anggap jarang timbul.
Namun memanglah akuntansi kreatif itu sendiri adalah tidak di benarkan ketika akan melakukan kecurangan dan manipulasi data keuangan.
·         Tujuan Akuntansi Kreatif.
Tujuan dari akuntansi kreatif ada bermacam-macam, misalnya saja untuk melakukan manipulasi data pajak atau untuk melancarkan pengajuan kredit keuangan kepada lembaga keuangan bank. Ada pula tujuan lain seperti menyembunyikan kinerja buruk perusahaan, menyembunyikan asset sebenarnya dari perusahaan dan masih banyak lagi contoh kasus-nya.
Kemunculan dari akuntansi kreatif biasanya di karenakan tuntutan pasar pada perusahaan untuk membuat kondisi menguntungkan.
·         Dampak akuntansi Kreatif
Dampak dari praktek akuntansi kreatif salah satunya adalah penurunan kualitas laporan keuangan perusahaan. Dan biasanya keputusan perusahaan hanya menguntungkan Mayoritas pemilik perusahaan sebagai pengontrol jalannya perusahaan.
Tenaga akuntan akan merasa terintimidasi di mana pimpinan perusahaan ingin membuat sebuah laporan keuangan yang sama sekali bertentangan dengan kaidah akuntansi yang ada dan tiga prinsip akuntan yaitu Jujur, Disiplin dan teliti. Dimana kejujuran seorang akuntan harus di hilangkan saat praktek akuntansi kreatif dipaksakan.
Maka memanglah sangat berbahaya ketika praktik akuntansi kreatif ini dilaksanakan oleh sebuah perusahaan yang di perintahkan langsung oleh pimpinan atau pemilik perusahaan. Karena controling atas kebenaran data adalah wewenang dari pihak perusahaan.
Namun tetap saja mudah dalam mendeteksi sebuah praktek akuntansi ini jika terjadi keteledoran dalam menyajikan data karena seorang akuntan juga tau cara membaca laporan yang ada keganjilan di dalamnya.

5.         Kecurangan dalam Akuntansi
            5.1       Kecurangan Korporat
Kecurangan korporat atau kejahatan ekonomi pada umumnya dilakukan oleh pejabat, eksekutif, dan/atau manajer pusat laba dari perusahaan publik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi jangka pendek mereka. Pada kenyataan, mungkin gaya manajemen yang berorientasi pada jangka pendek yang memnciptakan adanya kebutuhan untuk melakukan kecurangan korporat, mengingat tekanan untuk meningkatkan profitabilitas yang ada dalam mengahadapi kecilnya peluang, dan kebutuhan untuk mengambil risiko-risiko yang tidak bijaksana atas sumber daya perusahaan. Nyatanya, lebih dari sekedar tekanan untuk profitabilitas jangka pendek belaka, keserakahan ekonomi dan ketamakan juga menodai nilai-nilai sosial dan mengarah kepada kecurangan korporat.
            5.2       Kecurangan dalam pelaporan keuangan
·         Salah Saji Material (Material misstatement)
Kesalahan pencatatan akuntansi dapat menyebabkan salah saji material pada pelaporan keuangan. Salah saji material pada pelaporan keuangan mengacu pada pengertian bahwa keputusan pengguna laporan keuangan akan terpengaruh/terkecoh oleh ketidakakuratan informasi yang terjadi karena salah saji tersebut. Secara umum salah saji material dapat dikategorikan menjadi 2: kualitatif dan kuantitatif. Contoh salah saji yang kategori pertama adalah kesalahan pengelompokan rekening di pelaporan keuangan. Semisal pinjaman dari bank yang berumur kurang dari 1 tahun (current) dilaporkan di rekening pinjaman jangka panjang (non-current). Efek dari kesalahan ini bisa berakibat pada tidak akuratnya perhitungan rasio lancar (current ratio) dan perbandingan hutang pada modal (debt to equity ratio). Contoh salah saji kategori kedua adalah kesalahan pencatatan piutang dari pelanggan. Semisal, angka yang seharusnya $1.56 juta tercatat menjadi $1.65 juta akibat kesalahan analisis data. Hal ini menyebabkan aktiva perusahaan menjadi lebih besar dari seharusnya.
·         Kesalahan Akuntansi
Kesalahan pencatatan akuntansi juga bisa dikategorikan menjadi 2: kelalaian dan kecurangan. Kelalaian (error) mengacu pada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara tidak sengaja diakibatkan oleh salah perhitungan, salah pengukuran, salah estimasi serta salah interpretasi standar akuntansi. Kategori kedua, kecurangan (fraud) mengacu kepada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan meyesatkan pembaca/pengguna laporan keuangan. Tindakan ini dilakukan dengan motivasi negatif guna mengambil keuntungan sebagian pihak. Singkatnya, kedua kategori kesalahan akuntansi di atas dibedakan oleh motif tujuannya, apakah sengaja (unintentional) atau sengaja (intentional).
·         Kecurangan Akuntansi
Karena kelalaian akuntansi sifatnya tidak disengaja dan standard akuntansi pun memberikan “ruang” untuk memperbaikinya, maka tipe kesalahan ini tidaklah terlalu patut untuk dirisaukan. Yang menjadi masalah saat ini adalah kesalahan akuntansi yang disengaja (fraud) yang selanjutnya akan kita sebut sebagai kesalahan akuntansi. Berdasarkan tipe transaksinya, kecurangan akuntansi dapat dibagi menjadi: menjual lebih banyak (selling more), pembebanan lebih sedikit (costing less), memiliki lebih banyak (owning more), memiliki lebih sedikit (owning less), menyajikan lebih baik (presenting it better) dan tipe lain kecurangan akuntansi (others).
5.3       Kejahatan kerah putih
                Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) adalah Suatu tindak kecurangan yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada sector pemerintahan atau sector swasta, yang memiliki posisi dan wewenang yang dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan keputusan.Menurut Federal Beureau Investigation (FBI) kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah berbohong, curang, dan mencuri. Istilah ini diciptakan pada tahun 1939 dan sekarang identik dengan berbagai macam penipuan yang dilakukan oleh para profesional bisnis dan pemerintah. Sebuah kejahatan tunggal dapat menghancurkan sebuah perusahaan, keluarga bahkan menghancurkan atau memusnahkan kehidupan mereka melalui tabungan, atau investasi biaya miliaran dolar (atau bahkan tiga, seperti dalam kasus Enron). Penipuan semakin canggih dari sebelumnya, dan diperlukan orang yang berdedikasi untuk menggunakan keterampilan melacak pelaku penipuan dan berhenti bahkan sebelum pelaku kejahatan mulai. Kejahatan kerah putih ini biasanya merupakan lanjutan dari kecurangan yang dilakukan oleh seseorang.
Menurut Dony Kleden Rohaniwan (2011) seorang Pemerhati politik, kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum.Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Contoh kejahatan kerah putih adalah pencucian uang (money laundering), penipuan kepailitan (fraud bankruptcy), penipuan perusahaan, penipuan kredit rumah, penipuan asuransi, penipuan saham dan efek, penipuan lewat internet, kredit fiktif, dan penipuan lain yang berhubungan dengan uang
Menurut Gunadi (2009) dalam kejahatan kerah putih yang juga disebut kejahatan keuangan berlaku beberapa aksioma yaitu:
·                  Kecurangan selalu tersembunyi.
·                  Pelaku tidak menandatangani dokumen (memerintahkan orang lain untuk menandatangani).
·                  Pelaku tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP).
·                  Pelaku ingin menikmati hasil kejahatannya.
Oleh karena itu, maka harus dilakukan investigasi yang tepat untuk merekam jejak transaksi finansial (follow the money) untuk menghasilkan temuan yang berkualitas dan sulit untuk dipungkiri.

5.4       Kegagalan audit
            Kegagalan audit adalah suatu situasi di dalam audit dimana auditor sampai pada dan/atau mengeluarkan pendapat auditor yang salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan-persyaratan/standar pemeriksaan yang berlaku. Bila terjadi kegagalan perusahaan, mungkin terdapat atau tidak terdapat kegagalan audit.
Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan pendapat wajar tanpa pengecualian, namun pada kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan semua kesalahan laporan keuangan yang material. Audit terbatas pada pemilihan sampel, dan kesalahan yang disembunyikan dengan sangat rapi sulit ditemukan. Karenanya ada risiko bahwa audit tidak akan mengungkapkan kesalahan yang materil dalam laporan keuangan. 
Kebanyakan profesional akuntansi setuju bila auditor gagal mengungkapkan kesalahan yang material lalu pendapat auditor tersebut salah maka akuntan publik tersebut diminta tetap mempertahankan kualitas auditnya, berarti terjadi kegagalan audit, dan kantor akuntan tersebut harus bertanggung jawab kepada mereka yang menderita kerugian itu. Dalam prakteknya sulit untuk menentukan bilamana auditor gagal menggunakan keahliannya karena rumitnya proses auditing. Namun begitu, auditor yang gagal dalam menjalankan praktik auditnya dapat berakibat buruk bagi kantor akuntannya. 

Kesulitan timbul bila terjadi kegagalan dalam perusahaan, tetapi bukan kegagalan audit . apabila sebuah perusahaan pailit, atau tidak dapat membayar hutang-hutangnya, maka pemakai laporan keuangan umumnya mengklaim telah terjadi kegagalan audit khususnya apabila pendapat auditor terakhir menyatakan laporan keuangan tersebut wajar.

0 komentar:

Posting Komentar

 

a drop of happiness Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review