Minggu, 21 September 2014

[BAB 3] Teori Akuntansi - Elemen dan Struktur Teori Akuntansi

Diposting oleh Unknown di 08.10
Disusun Oleh:
1) Qonita Shabrina 120422425904
2) Ratna Ardiyanti 120422425905

Offering P
Jurusan S1 Akuntansi
Universitas Negeri Malang



ELEMEN DAN STRUKTUR TEORI AKUNTANSI

3.1       PEMIKIRAN MENGENAI TEORI
            3.1.1    Jenis Struktur Teoritis
            3.1.2    Fungsi dan Struktur Teori
            3.1.3    Evaluasi Teori
            3.1.4    Teori Umum Versus Teori Menengah Tentang Aakuntansi
3.2       PEMIKIRAN MENGENAI KONSEP
            3.2.1    Hakikat dan Pentingnya Konsep
            3.2.2    Validitas Konsep
3.3       MENANGANI HIPOTESIS
            3.3.1    Dari Dalil ke Hipotesis
            3.3.2    Konfirmasi Atas Hipotesis
            3.3.3    Hakikat Dari Penjelasan
            3.3.4    Hakikat Dari  Prediksi
3.4       KONTEKS PENEMUAN
3.5       KESIMPULAN

***

3.1       PEMIKIRAN MENGENAI TEORI
3.1.1    Jenis Struktur Teoritis
Definisi dari teori dinyatakan oleh Mario Bunge secara spesifik dan mendetail berikut ini:
Dalam bahasa dan metascience umu, istilah “hipotesis”, “hukum” dan “teori” sering tertukar. Kadang kala hukum dan teori dianggap sebagai bentuk lanjut dari hipotesis. Dalam ilmu lanjutan dan metascience kontemporer, ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan: “hukum”  atau “rumusan hukum” menunjuk kepada suatu jenis hipotesis tertentu yaitu non-tunggal, non-terisolasi, mengacu kepada suatu pola, serta membenarkan; dan “teori” menunjukkan kepada suatu sistem hipotesis, dimana rumusan hukum terlihat jelas diantaranya sedemikian sehingga inti dari teori adalah suatu sistem dari rumusan hukum.
Unsur-unsur yang terkandung dalam suatu teori adalah konsep, dalil, dan hipotesis yang saling berhubungan dalam sebuah struktur sistematis yang memungkinkan diberikannya penjelasan dan prediksi. Sekumpulan dalil yang secara sistematis berhubungan dan membentuk hipotesis dari suatu teori adalah bahan dasar yang penting dari teori. Hubungan yang sistematis dari hipotesis saling berhubungan ini diperoleh melalui formalisasi suatu teori, yaitu dengan menggunakan sebuah sistem bahasa formal yang telah diaksiomasi dan diartikan dengan tepat.
Teori deduktif lengkap (deductively complete theories)  memiliki “sebuah struktur formal yang lengkap dengan aksioma-aksioma yang telah dijelaskan secara penuh dan seluruh langkah-langkah dalam perluasan deduktifnya dinyatakan dengan lengkap. Ada juga yang disebut dengan teori hierarki (hierarchical theories) dan didefinisikan sebagai teori-teori dimana “hukum-hukum komponennya disajikan sebagai deduksi dari satu kumpulan kecil prinsip dasar. Prapengandalan sistematis (systematic presuppositions) meliputi formulasi yang mengandalkan sebelumnya suatu isi dari teori yang lengkap atau lengkap sebagian. Teori kuasi-deduktif (quasi-deductive theories) adlah teori dengan deduktif-kuasi (seolah-olah0 karena menggunakan logika induktif, penggunaan deduktif yang tidak lengkap atau mengandalkan pada primitif relatif. Percobaan-percobaan teoretis (theoretical attempts) sistem yang dapat “tanpa modifikasi yang signifikan pada konsep atau manipulasi, dapat dibuat paling tidak sebagian menjadi sebuah struktur formal” pada sistem variabel yang “bahkan sebagian tidak dapat diformalisasi  tanpa modifikasi yang substansial atas konsep yang digunakan dan diklarifikasi dari hubungan deduktif yang  diusulkan. Teori yang saling berhubungan (concatenated theories) adalah teori “ yang hukum komponennya bekerja dalam jaringan hubungan sehingga membentuk suatu konfigurasi atau pola yang diidentifikasi.

3.1.2    Fungsi dan Struktur Teori
            Teori dapat diidentifikasikan melalui struktur dan fungsi yang dijalankan. Baik struktur dan fungsi dari suatu teori  akan membatu memenuhi kebutuhan dari disiplin ilmu tertentu. John Harvard dan  Sheth Jagdish, mengklasifikasikan fungsi menjadi empat kategori:
1.      Fungsi dekriptif (description function) mencakup penggunaan gagasan atau konsep dan hubungan yang dimiliki untuk memberikan penjelasan terbaik atas suatu fenomena dan kekuatan yang mendasarinya.
2.      Fungsi Pembatasan (delimiting fuction) mencakup pemilihan suatu kumpulan peristiwa favorit yang harus dijelaskan dan memberikan suatu arti atas abstraksi yang diformulasikan dari tahapan deskriptif tersebut.
3.      Fungsi generatif (generative fuction) adalah kemampuan untuk menghasilkan hipotesis yang dapat diuji, yang merupakan tujuan utama dari suatu teori, atau untuk memberikan prasangka, pemikiran, dan ide yang menjadi dasar pengembangan suatu hipotesis.
4.      Fungsi integratif (integrative fuction) adalah kemampuan untuk menyajikan secara koheren dan konsisten, integrasi dari berbagai konsep dan hubungan dalam suatu teori.

Tingkat abstraksi (level of abstraction) meliputi penyederhanaan dan generalisasi dari konsep dan hubungan untuk menghilangkan fitur-fitur yang kurang relevan dalam menjelaskan suatu fenomena. Keunggulan dari abstraksi adalah semakin tinggi abstraksinya maka semakin tinggi generalisasi dalam teori. Oleh karena itu, gagasannya kurang akan operasional  dan lebih bersifat hipotesis.
Permasalahan mengenai realisme versus idealisme (realism versus idealism) mencerminkan dilema yang dihadapi oleh para peneliti dalam mengambil posisi “idealis” atau “realistis”. Para realis berpikir bahwa dunia telah memberikan mereka satu struktur yang harus mereka temukan. Sedangkan para idealis menyakini bahwa tidak terdapat dunia realitas eksternal dan riset yang dilakukan adalah untuk menciptakan struktur bukan menemukannya.
Permasalahan mengenai objektivitas versus subjektivitas (objectivism versus subjectivism)  mencerminkan dilema yang dihadapi oleh para peneliti dalam memandang suatu konsep  dan usaha secara objektif, yaitu dengan memberikan suatu arti yang umum, atau secara subjektif yaitu, memberikan mereka arti pribadi yang unik.
Permasalahan mengenai introspeksi versus ekstrospeksi (introspection versus extrospection) mencerminkan dilema yang dihadapi oleh para peneliti berkenaan dengan apakah memformulasikan teori secara introspektif, yaitu dari sudut pandang objek yang menjadi studi, atau secara ekstrospektif, yaitu dari sudut pandang peneliti sebagai orang pengamat.
Tingkat formalitas (level of formality) muncul dari adanya kebutuhan dalam situasi tertentu untuk memberikan suatu teori formal secara khusus dan seragam mengintegrasikan seluruh aspek teori yang relevan, dan dalam situasi yang lain memberikan suatu informasi nonformal yang memiliki ciri-ciri kurang jelasnya gagasan yang menyatukan.

3.1.3    Evaluasi Teori
Karl Kopper mengusulkan kriteria evaluasi, yaitu konsistensi internal, bentuk logid, perbandingan dengan teori-teori lain, dan uji empiris. Dari 70 kriteria teori yang “baik” seperti yang diungkapkan S.C Dodd memilih 24 kriteria evaluasi yang paling relevan yang disusun verikut ini dengan urutan dari yang paling penting: dapat diverifikasi (verifiability), dapat diprediksi (predicitivity), konsisten (consistency), andal (reliability), akurat (accuracy), umum (general), utilitas (utility), penting (importancy), multi penerapan (multipliability), memiliki satu arti (universal), dapat dikendalikan (controllability), dapat distandarkan (standardizability), sinergi (synergy), kehematan (parsimony), kesederhanaan (simplicity), stabilitas (stability), keseringan (recurrency), kemampuan untuk diterjemahkan (translatability), kelangsungan (durativity), ketahanan (durability), pengenalan (acquaintancy), kepopuleran (popularity), kemanjuran (afficacy), densitas (density).
Bunge menyajikan skema komprehensif yang terdiri atas 20 kriteria evaluasi teori, yang dikelompokkan menjadi: kriteria formal, kriteria semantik, kriteria epistemologi, kriteria metodologi, dan kriteria metafisika.

3.1.4    Teori Umum Versus Teori Menengah Tentang Aakuntansi
            Suatu teori didefinisikan sebagai “suatu gagasan (konsep), definisi, dan usulan yang saling bergantung satu sama lain, yang menyajikan suatu pandangan yang sistematis dari suatu fenomena dengan menyatakan hubungan-hubungan yang ada di antara berbagai variabel dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut.
            Munculnya upaya-upaya yang terfragmentasi menunjukkan pentingnya teori-teori menengah bagi bidang akuntansi, dimana istilah teori menengah (theories of the middle range) telah diperkenalkan dan didefinisikan oleh Robert Merton sebagai “teori yang berada di antara hipotesis minor maupun sangat banyak dikembangkan selama riset dari hari ke hari dan usaha-usha sistematis yang lengkap untuk mengembangkan suatu teori yang menyatukan.
            Teori akuntansi menengah diakibatkan oleh adanya perbedaan yang terjadi dalam  cara para meneliti mengartikan baik “pengguna” dari data akuntansi maupun “lingkungan” di masa para pengguna dan pembuat data akuntansi seharusnya bertingkah laku. Perbedaan ini akhirnya mengarahkan Komite  Konsep dan Standar untuk Laporan Keuangan Eksternal (Commitee on Concepts and Standards for External Financial Reports) dari American Accounting  Association  untuk menarik kesimpulan bahawa:
1.      Tidak ada satu pun aturan teori akuntansi keuangan yang cukup luas untuk mencakup seluruh jajaran spesifikasi dari pengguna lingkungan secara efektif.
2.      Yang tercantum dalam literatur akuntansi bukanlah suatu teori akuntansi kuangan melainkan sekumpulan teori yang dapat diatur sesuai dengan perbedaan yang terdapat dalam spesifikasi dari pengguna-lingkungan.

3.2       PEMIKIRAN MENGENAI KONSEP

3.2.1    Hakikat dan Pentingnya Konsep
            Konsep secara fundamental adalah sesuatu yang penting, baik dalam akuntansi maupun dalam ilmu yang lain. Pengetahuan ilmiah adalah sepenuhnya “konseptual” terdiri atas sistem-sistem konsep yang saling berhubungan dengan cara yang berbeda. Konsep adalah unit utama dari suatu teori, dan pembuatan teori yang baik mengandung artian pembentukan konsep yang baik. Suatu konsep dibuat dengan mengacu kepada karakteristik atau fenomena yang dapat diidentifikasikan.
            Suatu  konsep dapat berupa beragam jenis, suatu pembedanya adalah dari segi konsep formal versus nonoformal, dimana konsep nonformal tidak seperti formal, mengacu kepada beberapa aspek dari dunia nyata. Jenis yang lain meliputi konsep observasional, konsep-konsep teoritis, dan konsep-konsep disposisi. Konsep obervasional adalah konsep yang memiliki “karakteristik objek tertentu yang dapat diobservasi secara langsung, yaitu sifat atau hubungan yang kehadiran maupun ketidakhadirannya di suatu kasus tertentu dapat dipastikan secara intersubjektif, dalam kondisi-kondisi yang sesuai oleh observasi langsung” atau “yang kehadiran maupun ketidakhadirannya dapat dipastikan”
            Konsep teoritis (theoretical concept) adalah konsep yang memainkan peranan khusus dan terkandung dalam suatu teori. Konsep disposisi (disposition concept) mengacu kepada suatu kecenderungan “untuk menunjukkan reaksi yang spesifik menurut kondisi tertentu yang dapat ditetapkan. Definisi yang berorientasi  perilaku dapat dinyatakan sebagai berikut: (konsep-konep) ini menguraikan disposisi dari suatu objek atau organisme untuk menunjukkan satu karakteristik atau respons tertentu dibawah kondisi stimulasi tertentu.

3.2.2    Validitas Konsep
            Meskipun kebanyakan konsep keuangan dalam akuntansi telah didefinisikan dengan cukup memadai, hanya sedikit diantaranya yang telah divalidasi. Digunakan dua pendekatan untuk melakukan validasi. Pertama-taa, yang dikenal dengan istilah operasional, menyatakan bahwa yang valid hanyalah konsep observasional. Tujuan dari operasionalisme adalah untuk “membebaskan ilmu pengetahuan dari ketergantungan apapun komitmen “metafisika” yang tidak dapat diverifikasi”. Pendekatan yang kedua berfokus pada pengembangan pengukuran validitas konsep untuk mengvaluasi sejauh mana suatu instrumen dapat mengukur konsep yang sedang dipertimbangkan. Zaliman dan rekan memberikan daftar yang lengkap dan didefinisikan dengan baik yang memuat jenis validitas konsep yang terdapat dalam literatur riset.
1.      Validitas observasional: tingkat sampai dimana suatu konsep dapat disederhanakan oleh observasi.
2.      Validitas isi: tingkat dimana suatu konsep operasionalisasi mencerminkan konsep yang hendak yang dibuat generalisasinya.
3.      Validitas yang berhubungan dengan kriteria: tingkat sampai dimana konsep yang sedang dinilai memungkinkan seseorang untuk meramalkan nilai dari beberapa konsep yang lain yang membentuk kriteria.
a.       Validitas prediktif: subjenis dari validitas yang berhubungan dengan kriteria dimana kriteria yang diukur dalam waktu yang terpisah dari konsep si prediktor,
b.      Validitas konkuren(bersamaan): sebjenis dari validitas yang berhubungan dengan kriteria dimana konsep kriteria dan prediktor dapat diukur pada waktu yang sama.

4.      Validitas gagasan: sampai sejauh mana operasionalisasi mengukur konsep yang seharusnya ia ukur.
a.       Validitas konvergen: tingkat sampai dimana dua usaha percobaan untuk mengukur konsep yang sama melalui metode-metode yang berbeda secara maksimal adalah konvergen.  Ia biasanya dinyatakan oleh korelasi yang terjadi diantara  dua usaha percobaan tersebut,
b.      Validitas  diskriminan: sampai sejauh mana suatu konsep berbeda dengan konsep yang lainnya,
c.       Validitas nomologi: sampai sejauh mana suatu prediksi yang didasarkan atas konsep yang dimaksudkan untuk diukur oleh suatu instrumen dapat dikonfirmasi.
5.      Validitas sistemik: tingkat sampai dimana suatu konsep memugkinkan adanya integrasi dari konsep-konsep yang sebelumnya tidak saling berhubungan dan/atau pembuatan suatu sistem konseptual yang baru.
6.      Validitas semantik: tingkat sampai dimana suatu konsep memiliki penggunaan semantik yang seragam.
7.      Validitas  pengendalian: tingkat sampai dimana suatu konsep dapat dimanipulasi dan mampu mempengaruhi variabel lain yang berpengaruh.

3.3       MENANGANI HIPOTESIS
3.3.1    Dari Dalil ke Hipotesis
            Dalil dapat menjadi hipotesis jika mereka mengacu kepada fakta-fakta yang tidak berpengalaman dan pada waktu yang bersamaan dapat diperbaruhi berdasarkan atas pengetahuan yang bariu diperoleh. Karakteristik utama dari subuah hipotesis adalah kemampuan untuk diuji secara empiris. Sifat dari pengujian yang diberikan akan bergantung kepada apakah dalil yang diberikan akan bersifat analitis atau sistetis. Dalil analitis hanya dapat dinyatakan benar atau salah secara logis. Dalil sintetis yang memiliki signifikansi empiris dapat mejadi subjek dari suatu ujian empiris.
            Suatu hipotesis, oleh karenanya adalah dalil mengenai suatu hubungan yang kebenaran  atau kesalahannya masih harus ditentukan oleh suatu ujian empiris. Kemungkinan  untuk dikatakan benar dapat diperoleh dengan mengambil sampel dari konsekuesi logisnya dan mengkonfirmasikan bahwa sampel tersebut adalah benar.

3.3.2    Konfirmasi Atas Hipotesis
Terdapat suatu metodologi yang diterima umum oleh seluruh ilmu pengetahuan untuk membenarkan suatu pengetahuan. Metodologi tersebut terletak dalam penentuan apakah suatu nilai kebenaran dapat secara prinnsip ditempatkan sebagai hipotesis yaitu, apakah ia dapat disanggah, dikonfirmasikan, dibuktikan kesalahannya atau diverifikasi. Konfirmasi (confirmation) adalah sampai sejauh mana suatu hipotesis mampu menunjukkan kebenaran secara empiris yaitu, menggambarkan dunia nyata dengan akurat. Pembuktian kesalahan (falsification) adalah sampai sejauh mana suatu hipotesis mampu menunjukkan bahwa ia secara empiris tidak benar, yaitu gagal untuk menggambarkan dunia nyata dengan akurat.
Hipotesis yang semata-mata dapat dikonfirmasikan (purely confirmable hypoteses) datang dari pernyataan eksistensial, yaitu pernyataan yang mengajukan eksistensi dari beberapa fenomena. Hipotesis yang semata-mata dapat disanggah (purely refutable hypoteses) datang dari hukum universal, yaitu pernyataan yang dapat mengambil bentuk dari persyaratan generalisasi yang universal.
Kedua hipotesis yang dapat dikonfirmasi dan disanggah tersebut datang dari pernyataan tunggal, yaitu pernyataan yang  hanya mengacu kepada fenomena tertentu yang terkait dalam waktu dan ruang.
Pembuktian kesalahan atau konfirmasi  dilakukan melalui  kesaksian yang berulang-ulang dan bukti-bukti baru. Jika suatu pengujian memadai yang dilakukan berulang-ulang memperkuat suatu hipotesis, maka secara rata-rata ia akan menjadi suatu generalisasi atau hukum yang benar secara universal dan empiris.

3.3.3    Hakikat Dari Penjelasan
Penjelasan adalah langkah vital dari seluruh jenis pertanyaan ilmiah. Ernest Nagel menyatakan bahwa “tujuan khusus dari suatu usaha ilmiah adalah untuk memberikan penjelasan yang sistematis dan  didukung secara bertanggung jawab. Model-model penjelasan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut ini:
1.    Persyaratan akan relevansi penjelasan berarti bahwa model penjelasan harus bagaimana pun caranya menunjukkan bahwa fenomena yang akan dijelaskan adalah telah diekspektasikan mengingat kondisi-kondisi yang ada. Relevansi penjelasan  tercapai ketika “informasi yang mengemukakan dasar untuk mempercayai bahwa fenomena yang akan dijelaskan memang atau telah benar-benar terjadi.
2.    Persyaratan akan kemampuan untuk diuji berarti bahwa penjelasan ilmiah harus dapat diuji secara empiris. Tujuh model penjelasan dasar telah diusulkan, yaitu: deduktif-nomologi, model probabilistik, model fungsional attau teleologi, model genetik, model pola, model peristiwa-peristiwa individual, dan model logis empiris.

Model deduktif-nomologi yang juga disebut sebagai hipotesis-deduktif dan meliputi hukum atau hanya deduktif saja, memiliki struktur berikut ini
    

                                                            E                                                         

Pada dasarnya  adalah karakteristik atau fakta-fakta dari suatu fenomena tertentu dan  adalah hukuman atau hukum deterministik yang universal. Karakteristik dan hukum yang  mengikat mereka adalah eksplanan yang secara deduktif menyatakan eksplanandum secara tidak langsung. Model probabilistik berbeda dari model deduktif-nomologi dengan mengandalkan pada probabilistik dari pada mempelajari suatu hukum universalitas. Hukum statistika ini memiliki rumus:
                                                P (G,F) = r

Yang berarti bahwa probabilitas G akibat F adalah r. Probabilitas ini dapat berupa probabilitas matematis, frekuensi relatif, atau probabilitas subjektif. Pernyataan probabilistik tidak secara formal dikonfirmasikan atau tidak dikonfirmasikan.
Model probabilistik dari penjelasan memiliki struktru berikut ini:
                                              



hukum probabilistik P (G,F) = r menetapkan bahwa dengan memperhitungkan F, maka probabilitas terjadinya G adalah r. Sebagai contoh, probabilitas dari suatu perusahaan yang memiliki rasio pengungkit (leverage) yang sangat tinggi untuk mengalami kebangkrutan tinggi.
                                               


model fungsional atau teleologi penjelasan (fuctional or teleological—explanation model) menjawab pertanyaan “mengapa” atas semua fenomena dengan mengacu kepada fungsi-fungsi tertentu dari fenomena tersebut. penjelasan fungsional adalah  bagian dari kelas umum penyelidikan filosofi yang dikenal sebagai teleologi atau studi atas tujuan.
model genetik-penjelasan (genetic-explanation model) menjawab  pertanyaan “mengapa” atas suatu  fenomena dengan mengacu kepada suatu kondisi sebelumnya atau suatu urutan dari kondisi sebelumnya. Dikenal pula dengan nama penjelasan historis (historiest explanation), ia mengacu pada suatu model “dimana efek yang ditimbulkan oleh penyebab periode sebelumnya menjadi penyebab dengan efek yang sama diperiode berikutnya”.
Model pola (pattern model) dari penjelasan menjawab pertanyaan “mengapa” dengan mencocokkan suatu fenomena ke dalam pola yang diketahui. Model peristiwa-peristiwa individual (individual-events model) menjelaskan pertanyaan “mengapa” dengan mengacu kepada penjelasan individual sebagai penjelasnya. Model empiris (empiricist model) logis menjawab pertanyaan “mengapa” dengan tidak mengacu kepada peristiwa individual namun kepada generalisasi empiris yang menggolongkan dan secara induktif menggeneralisasi temuan-temuan yang ada.
Mengingat jenis-jenis model penjelasan di atas, pertanyaannya adalah menjadi menentukan salah satu kriteria yang akan membantu dalam evaluasi penjelasan.

3.3.4    Hakikat Dari  Prediksi
Apakah hubungan antara penjelasan dengan prediksi? Hampel menjawab pertanyaan ini dari segi tesis Identitas Struktural (thesis of structural identity) atau simetri struktural (structural symmtetry): setiap penjelasan yang memdai adalah suatu potensi prediksi, dan setiap prediksi yang memadai adalah suatu potensi penjelasan. Hampel dan PA. Oppenheim memandang  prediksi sebagai suatu kasusu khusus dari penjelasan. Prediksi (prediction) itu sendiri adalah berarti proses “pmbuatan deduksi dari peristiwa yang diketahui ke peristiwa yang tidak diketahui  dalam sebuah sistem yang statis secara konseptual”. Sedangkan prediksi ilmiah (scientific prediction) memiliki arti prediksi yang dipandu oleh aturan-aturan ilmiah. Bunge membedakan antara prediksi ilmiah dengan tiga prediksi tidak ilmiah yaitu, ekspektasi, tekanan, dan prognosis. Prediksi dapat dilakukan dengan teknik eksplorasi yang memprediksi suatu variabel atas dasar dari variabel itu sendiri, atau teknik asosiatif yang memprediksi suatu variabel atas dasar variabel lain.

3.4       KONTEKS PENEMUAN
Secara umum ada empat prosedur yang digunakan untuk menghasilkan atau menemukan generalisasi, hukum, atau teori-teori empiris: mimpi, eureka, pendekatan deduktif, dan pendekatan induktif.
Mimpi mungkin adalah salah satu prosedur penemuan yang memiliki peranan penting dalam penemuan ilmiah. Cara eureka dapat menjadi salah satu prosedur penemuan juga. Archimedes, melihat bahwa air di bak mandinya mengalami kenaikan ketika ia berendam, meneriakkan “Eureka” saat ia menyadari bahwa tubuhnya yang terendam dalam air akan “diambangkan” oleh kekuatan yang setara berat dengan cairan yang dipindahkannya.
Pendekatan deduktif adalah prosedur penemuan lainnya. Pendekatan deduktif terhadap penyusunan suatu teori apa pun dimulai dengan dalil-dalil dan dilanjutkan untuk menghasilkan kesimpulan logis atas subjek yang dipermasalahkan. Langkah-langkah yang digunakan untuk menghasilkan suatu pendekatan deduktif akan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.    Menyatakan tujuan dari laporan-laporan keuangan
2.    Memilih dalil-dalil akuntansi
3.    Menghasilkan prinsip-prinsip akuntansi
4.    Mengembangkan teknik-teknik akuntansi
Pendekatan induktif juga merupakan prosedur penemuan. Pendekatan induktif bagi penyusunan suatu teori di mulai dengan observasi serta pengukuran, dan selanjutnya bergerak ke arah  generalisasi kesimpulan. Jika diterapkan dalam akuntansi, pendekatan induktif di mulai dari observasi tentang informasi keuangan dari perusahaan bisnis dan diteruskan dengan penyusunan generalisasi dan prinsip akuntansi atas dasar observasi dengan basis hubungan yang terus berulang. Pendekatan induktif atas teori melibatkan empat tahapan:
1.    Mencatat seluruh observasi yang dilakukan,
2. Menganalisis dan mengklasifikasikan observasi-observasi ini untuk mendeteksi adanya hubungan yang terus berulang,
3. Secara induktif menghasilkan generalisasi dan prinsip-prinsip akuntansi dari observasi-observasi yang menggambarkan  hubungan yang terus berulang,
4.    Menguji generalisasi tersebut.
Berbeda dengan pendekatan deduktif, kebenaran atau kesalahan dari usulan yang diberikan tidak bergantung kepada usulan lainnya melainkan harus diverifikasi secara empiris. Dalam induksi, kebenaran dari usulan akan bergantung kepada observasi  atas contoh yang memadai dari hubungan yang terus berulang.

3.5       KESIMPULAN

Riset akuntansi seharusnya adalah untuk mengembangkan suatu metodologi pemikiran yang kuat baik dalam penyusunan teori maupun pelaksanaan riset dasar dan terapan. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

a drop of happiness Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review