Disusun Oleh:
1) Qonita Shabrina 120422425904
2) Ratna Ardiyanti 120422425905
Offering P
Jurusan S1 Akuntansi
Universitas Negeri Malang
ELEMEN
DAN STRUKTUR TEORI AKUNTANSI
3.1 PEMIKIRAN
MENGENAI TEORI
3.1.1 Jenis Struktur Teoritis
3.1.2 Fungsi dan Struktur Teori
3.1.3 Evaluasi Teori
3.1.4 Teori Umum Versus Teori Menengah Tentang
Aakuntansi
3.2 PEMIKIRAN
MENGENAI KONSEP
3.2.1 Hakikat dan Pentingnya Konsep
3.2.2 Validitas Konsep
3.3 MENANGANI
HIPOTESIS
3.3.1 Dari Dalil ke Hipotesis
3.3.2 Konfirmasi Atas Hipotesis
3.3.3 Hakikat Dari Penjelasan
3.3.4 Hakikat Dari
Prediksi
3.4 KONTEKS
PENEMUAN
3.5 KESIMPULAN
***
3.1 PEMIKIRAN
MENGENAI TEORI
3.1.1 Jenis
Struktur Teoritis
Definisi dari teori
dinyatakan oleh Mario Bunge secara spesifik dan mendetail berikut ini:
Dalam bahasa dan
metascience umu, istilah “hipotesis”, “hukum” dan “teori” sering tertukar.
Kadang kala hukum dan teori dianggap sebagai bentuk lanjut dari hipotesis.
Dalam ilmu lanjutan dan metascience kontemporer, ketiga istilah tersebut
biasanya dibedakan: “hukum” atau
“rumusan hukum” menunjuk kepada suatu jenis hipotesis tertentu yaitu
non-tunggal, non-terisolasi, mengacu kepada suatu pola, serta membenarkan; dan
“teori” menunjukkan kepada suatu sistem hipotesis, dimana rumusan hukum
terlihat jelas diantaranya sedemikian sehingga inti dari teori adalah suatu
sistem dari rumusan hukum.
Unsur-unsur yang
terkandung dalam suatu teori adalah konsep, dalil, dan hipotesis yang saling
berhubungan dalam sebuah struktur sistematis yang memungkinkan diberikannya
penjelasan dan prediksi. Sekumpulan dalil yang secara sistematis berhubungan
dan membentuk hipotesis dari suatu teori adalah bahan dasar yang penting dari
teori. Hubungan yang sistematis dari hipotesis saling berhubungan ini diperoleh
melalui formalisasi suatu teori, yaitu dengan menggunakan sebuah sistem bahasa
formal yang telah diaksiomasi dan diartikan dengan tepat.
Teori deduktif lengkap
(deductively complete theories) memiliki
“sebuah struktur formal yang lengkap dengan aksioma-aksioma yang telah
dijelaskan secara penuh dan seluruh langkah-langkah dalam perluasan deduktifnya
dinyatakan dengan lengkap. Ada juga yang disebut dengan teori hierarki
(hierarchical theories) dan didefinisikan sebagai teori-teori dimana
“hukum-hukum komponennya disajikan sebagai deduksi dari satu kumpulan kecil
prinsip dasar. Prapengandalan sistematis (systematic presuppositions) meliputi
formulasi yang mengandalkan sebelumnya suatu isi dari teori yang lengkap atau
lengkap sebagian. Teori kuasi-deduktif (quasi-deductive theories) adlah teori
dengan deduktif-kuasi (seolah-olah0 karena menggunakan logika induktif,
penggunaan deduktif yang tidak lengkap atau mengandalkan pada primitif relatif.
Percobaan-percobaan teoretis (theoretical attempts) sistem yang dapat “tanpa
modifikasi yang signifikan pada konsep atau manipulasi, dapat dibuat paling
tidak sebagian menjadi sebuah struktur formal” pada sistem variabel yang
“bahkan sebagian tidak dapat diformalisasi
tanpa modifikasi yang substansial atas konsep yang digunakan dan
diklarifikasi dari hubungan deduktif yang
diusulkan. Teori yang saling berhubungan (concatenated theories) adalah
teori “ yang hukum komponennya bekerja dalam jaringan hubungan sehingga
membentuk suatu konfigurasi atau pola yang diidentifikasi.
3.1.2 Fungsi
dan Struktur Teori
Teori
dapat diidentifikasikan melalui struktur dan fungsi yang dijalankan. Baik
struktur dan fungsi dari suatu teori
akan membatu memenuhi kebutuhan dari disiplin ilmu tertentu. John
Harvard dan Sheth Jagdish,
mengklasifikasikan fungsi menjadi empat kategori:
1. Fungsi
dekriptif (description function) mencakup penggunaan gagasan atau konsep dan
hubungan yang dimiliki untuk memberikan penjelasan terbaik atas suatu fenomena
dan kekuatan yang mendasarinya.
2. Fungsi
Pembatasan (delimiting fuction) mencakup pemilihan suatu kumpulan peristiwa
favorit yang harus dijelaskan dan memberikan suatu arti atas abstraksi yang diformulasikan
dari tahapan deskriptif tersebut.
3. Fungsi
generatif (generative fuction) adalah kemampuan untuk menghasilkan hipotesis
yang dapat diuji, yang merupakan tujuan utama dari suatu teori, atau untuk
memberikan prasangka, pemikiran, dan ide yang menjadi dasar pengembangan suatu
hipotesis.
4. Fungsi
integratif (integrative fuction) adalah kemampuan untuk menyajikan secara
koheren dan konsisten, integrasi dari berbagai konsep dan hubungan dalam suatu
teori.
Tingkat
abstraksi (level of abstraction) meliputi penyederhanaan dan generalisasi dari
konsep dan hubungan untuk menghilangkan fitur-fitur yang kurang relevan dalam
menjelaskan suatu fenomena. Keunggulan dari abstraksi adalah semakin tinggi
abstraksinya maka semakin tinggi generalisasi dalam teori. Oleh karena itu,
gagasannya kurang akan operasional dan
lebih bersifat hipotesis.
Permasalahan
mengenai realisme versus idealisme (realism versus idealism) mencerminkan
dilema yang dihadapi oleh para peneliti dalam mengambil posisi “idealis” atau
“realistis”. Para realis berpikir bahwa dunia telah memberikan mereka satu
struktur yang harus mereka temukan. Sedangkan para idealis menyakini bahwa
tidak terdapat dunia realitas eksternal dan riset yang dilakukan adalah untuk
menciptakan struktur bukan menemukannya.
Permasalahan
mengenai objektivitas versus subjektivitas (objectivism versus
subjectivism) mencerminkan dilema yang
dihadapi oleh para peneliti dalam memandang suatu konsep dan usaha secara objektif, yaitu dengan
memberikan suatu arti yang umum, atau secara subjektif yaitu, memberikan mereka
arti pribadi yang unik.
Permasalahan
mengenai introspeksi versus ekstrospeksi (introspection versus extrospection)
mencerminkan dilema yang dihadapi oleh para peneliti berkenaan dengan apakah
memformulasikan teori secara introspektif, yaitu dari sudut pandang objek yang
menjadi studi, atau secara ekstrospektif, yaitu dari sudut pandang peneliti
sebagai orang pengamat.
Tingkat
formalitas (level of formality) muncul dari adanya kebutuhan dalam situasi
tertentu untuk memberikan suatu teori formal secara khusus dan seragam
mengintegrasikan seluruh aspek teori yang relevan, dan dalam situasi yang lain
memberikan suatu informasi nonformal yang memiliki ciri-ciri kurang jelasnya
gagasan yang menyatukan.
3.1.3 Evaluasi
Teori
Karl Kopper mengusulkan
kriteria evaluasi, yaitu konsistensi internal, bentuk logid, perbandingan
dengan teori-teori lain, dan uji empiris. Dari 70 kriteria teori yang “baik”
seperti yang diungkapkan S.C Dodd memilih 24 kriteria evaluasi yang paling relevan
yang disusun verikut ini dengan urutan dari yang paling penting: dapat
diverifikasi (verifiability), dapat diprediksi (predicitivity), konsisten
(consistency), andal (reliability), akurat (accuracy), umum (general), utilitas
(utility), penting (importancy), multi penerapan (multipliability), memiliki
satu arti (universal), dapat dikendalikan (controllability), dapat distandarkan
(standardizability), sinergi (synergy), kehematan (parsimony), kesederhanaan
(simplicity), stabilitas (stability), keseringan (recurrency), kemampuan untuk
diterjemahkan (translatability), kelangsungan (durativity), ketahanan
(durability), pengenalan (acquaintancy), kepopuleran (popularity), kemanjuran
(afficacy), densitas (density).
Bunge menyajikan skema
komprehensif yang terdiri atas 20 kriteria evaluasi teori, yang dikelompokkan
menjadi: kriteria formal, kriteria semantik, kriteria epistemologi, kriteria
metodologi, dan kriteria metafisika.
3.1.4 Teori
Umum Versus Teori Menengah Tentang Aakuntansi
Suatu
teori didefinisikan sebagai “suatu gagasan (konsep), definisi, dan usulan yang
saling bergantung satu sama lain, yang menyajikan suatu pandangan yang
sistematis dari suatu fenomena dengan menyatakan hubungan-hubungan yang ada di
antara berbagai variabel dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan
fenomena tersebut.
Munculnya
upaya-upaya yang terfragmentasi menunjukkan pentingnya teori-teori menengah
bagi bidang akuntansi, dimana istilah teori menengah (theories of the middle
range) telah diperkenalkan dan didefinisikan oleh Robert Merton sebagai “teori
yang berada di antara hipotesis minor maupun sangat banyak dikembangkan selama
riset dari hari ke hari dan usaha-usha sistematis yang lengkap untuk
mengembangkan suatu teori yang menyatukan.
Teori
akuntansi menengah diakibatkan oleh adanya perbedaan yang terjadi dalam cara para meneliti mengartikan baik
“pengguna” dari data akuntansi maupun “lingkungan” di masa para pengguna dan
pembuat data akuntansi seharusnya bertingkah laku. Perbedaan ini akhirnya
mengarahkan Komite Konsep dan Standar
untuk Laporan Keuangan Eksternal (Commitee on Concepts and Standards for
External Financial Reports) dari American Accounting Association
untuk menarik kesimpulan bahawa:
1. Tidak
ada satu pun aturan teori akuntansi keuangan yang cukup luas untuk mencakup
seluruh jajaran spesifikasi dari pengguna lingkungan secara efektif.
2. Yang
tercantum dalam literatur akuntansi bukanlah suatu teori akuntansi kuangan
melainkan sekumpulan teori yang dapat diatur sesuai dengan perbedaan yang
terdapat dalam spesifikasi dari pengguna-lingkungan.
3.2 PEMIKIRAN
MENGENAI KONSEP
3.2.1 Hakikat
dan Pentingnya Konsep
Konsep
secara fundamental adalah sesuatu yang penting, baik dalam akuntansi maupun
dalam ilmu yang lain. Pengetahuan ilmiah adalah sepenuhnya “konseptual” terdiri
atas sistem-sistem konsep yang saling berhubungan dengan cara yang berbeda.
Konsep adalah unit utama dari suatu teori, dan pembuatan teori yang baik
mengandung artian pembentukan konsep yang baik. Suatu konsep dibuat dengan
mengacu kepada karakteristik atau fenomena yang dapat diidentifikasikan.
Suatu konsep dapat berupa beragam jenis, suatu pembedanya
adalah dari segi konsep formal versus nonoformal, dimana konsep nonformal tidak
seperti formal, mengacu kepada beberapa aspek dari dunia nyata. Jenis yang lain
meliputi konsep observasional, konsep-konsep teoritis, dan konsep-konsep
disposisi. Konsep obervasional adalah konsep yang memiliki “karakteristik objek
tertentu yang dapat diobservasi secara langsung, yaitu sifat atau hubungan yang
kehadiran maupun ketidakhadirannya di suatu kasus tertentu dapat dipastikan
secara intersubjektif, dalam kondisi-kondisi yang sesuai oleh observasi
langsung” atau “yang kehadiran maupun ketidakhadirannya dapat dipastikan”
Konsep
teoritis (theoretical concept) adalah konsep yang memainkan peranan khusus dan
terkandung dalam suatu teori. Konsep disposisi (disposition concept) mengacu
kepada suatu kecenderungan “untuk menunjukkan reaksi yang spesifik menurut
kondisi tertentu yang dapat ditetapkan. Definisi yang berorientasi perilaku dapat dinyatakan sebagai berikut:
(konsep-konep) ini menguraikan disposisi dari suatu objek atau organisme untuk
menunjukkan satu karakteristik atau respons tertentu dibawah kondisi stimulasi
tertentu.
3.2.2 Validitas
Konsep
Meskipun
kebanyakan konsep keuangan dalam akuntansi telah didefinisikan dengan cukup
memadai, hanya sedikit diantaranya yang telah divalidasi. Digunakan dua
pendekatan untuk melakukan validasi. Pertama-taa, yang dikenal dengan istilah
operasional, menyatakan bahwa yang valid hanyalah konsep observasional. Tujuan
dari operasionalisme adalah untuk “membebaskan ilmu pengetahuan dari
ketergantungan apapun komitmen “metafisika” yang tidak dapat diverifikasi”.
Pendekatan yang kedua berfokus pada pengembangan pengukuran validitas konsep
untuk mengvaluasi sejauh mana suatu instrumen dapat mengukur konsep yang sedang
dipertimbangkan. Zaliman dan rekan memberikan daftar yang lengkap dan
didefinisikan dengan baik yang memuat jenis validitas konsep yang terdapat
dalam literatur riset.
1. Validitas
observasional: tingkat sampai dimana suatu konsep dapat disederhanakan oleh
observasi.
2. Validitas
isi: tingkat dimana suatu konsep operasionalisasi mencerminkan konsep yang
hendak yang dibuat generalisasinya.
3. Validitas
yang berhubungan dengan kriteria: tingkat sampai dimana konsep yang sedang
dinilai memungkinkan seseorang untuk meramalkan nilai dari beberapa konsep yang
lain yang membentuk kriteria.
a. Validitas
prediktif: subjenis dari validitas yang berhubungan dengan kriteria dimana
kriteria yang diukur dalam waktu yang terpisah dari konsep si prediktor,
b. Validitas
konkuren(bersamaan): sebjenis dari validitas yang berhubungan dengan kriteria
dimana konsep kriteria dan prediktor dapat diukur pada waktu yang sama.
4. Validitas
gagasan: sampai sejauh mana operasionalisasi mengukur konsep yang seharusnya ia
ukur.
a. Validitas
konvergen: tingkat sampai dimana dua usaha percobaan untuk mengukur konsep yang
sama melalui metode-metode yang berbeda secara maksimal adalah konvergen. Ia biasanya dinyatakan oleh korelasi yang
terjadi diantara dua usaha percobaan
tersebut,
b. Validitas diskriminan: sampai sejauh mana suatu konsep
berbeda dengan konsep yang lainnya,
c. Validitas
nomologi: sampai sejauh mana suatu prediksi yang didasarkan atas konsep yang
dimaksudkan untuk diukur oleh suatu instrumen dapat dikonfirmasi.
5. Validitas
sistemik: tingkat sampai dimana suatu konsep memugkinkan adanya integrasi dari
konsep-konsep yang sebelumnya tidak saling berhubungan dan/atau pembuatan suatu
sistem konseptual yang baru.
6. Validitas
semantik: tingkat sampai dimana suatu konsep memiliki penggunaan semantik yang
seragam.
7. Validitas pengendalian: tingkat sampai dimana suatu
konsep dapat dimanipulasi dan mampu mempengaruhi variabel lain yang
berpengaruh.
3.3 MENANGANI
HIPOTESIS
3.3.1 Dari
Dalil ke Hipotesis
Dalil
dapat menjadi hipotesis jika mereka mengacu kepada fakta-fakta yang tidak
berpengalaman dan pada waktu yang bersamaan dapat diperbaruhi berdasarkan atas
pengetahuan yang bariu diperoleh. Karakteristik utama dari subuah hipotesis
adalah kemampuan untuk diuji secara empiris. Sifat dari pengujian yang
diberikan akan bergantung kepada apakah dalil yang diberikan akan bersifat
analitis atau sistetis. Dalil analitis hanya dapat dinyatakan benar atau salah
secara logis. Dalil sintetis yang memiliki signifikansi empiris dapat mejadi
subjek dari suatu ujian empiris.
Suatu
hipotesis, oleh karenanya adalah dalil mengenai suatu hubungan yang
kebenaran atau kesalahannya masih harus
ditentukan oleh suatu ujian empiris. Kemungkinan untuk dikatakan benar dapat diperoleh dengan
mengambil sampel dari konsekuesi logisnya dan mengkonfirmasikan bahwa sampel
tersebut adalah benar.
3.3.2 Konfirmasi
Atas Hipotesis
Terdapat suatu
metodologi yang diterima umum oleh seluruh ilmu pengetahuan untuk membenarkan
suatu pengetahuan. Metodologi tersebut terletak dalam penentuan apakah suatu
nilai kebenaran dapat secara prinnsip ditempatkan sebagai hipotesis yaitu,
apakah ia dapat disanggah, dikonfirmasikan, dibuktikan kesalahannya atau
diverifikasi. Konfirmasi (confirmation) adalah sampai sejauh mana suatu
hipotesis mampu menunjukkan kebenaran secara empiris yaitu, menggambarkan dunia
nyata dengan akurat. Pembuktian kesalahan (falsification) adalah sampai sejauh
mana suatu hipotesis mampu menunjukkan bahwa ia secara empiris tidak benar,
yaitu gagal untuk menggambarkan dunia nyata dengan akurat.
Hipotesis yang
semata-mata dapat dikonfirmasikan (purely confirmable hypoteses) datang dari
pernyataan eksistensial, yaitu pernyataan yang mengajukan eksistensi dari
beberapa fenomena. Hipotesis yang semata-mata dapat disanggah (purely refutable
hypoteses) datang dari hukum universal, yaitu pernyataan yang dapat mengambil
bentuk dari persyaratan generalisasi yang universal.
Kedua hipotesis yang
dapat dikonfirmasi dan disanggah tersebut datang dari pernyataan tunggal, yaitu
pernyataan yang hanya mengacu kepada
fenomena tertentu yang terkait dalam waktu dan ruang.
Pembuktian kesalahan
atau konfirmasi dilakukan melalui kesaksian yang berulang-ulang dan bukti-bukti
baru. Jika suatu pengujian memadai yang dilakukan berulang-ulang memperkuat
suatu hipotesis, maka secara rata-rata ia akan menjadi suatu generalisasi atau
hukum yang benar secara universal dan empiris.
3.3.3 Hakikat
Dari Penjelasan
Penjelasan adalah
langkah vital dari seluruh jenis pertanyaan ilmiah. Ernest Nagel menyatakan
bahwa “tujuan khusus dari suatu usaha ilmiah adalah untuk memberikan penjelasan
yang sistematis dan didukung secara
bertanggung jawab. Model-model penjelasan harus memenuhi
persyaratan-persyaratan berikut ini:
1. Persyaratan
akan relevansi penjelasan berarti bahwa model penjelasan harus bagaimana pun
caranya menunjukkan bahwa fenomena yang akan dijelaskan adalah telah
diekspektasikan mengingat kondisi-kondisi yang ada. Relevansi penjelasan tercapai ketika “informasi yang mengemukakan
dasar untuk mempercayai bahwa fenomena yang akan dijelaskan memang atau telah
benar-benar terjadi.
2. Persyaratan
akan kemampuan untuk diuji berarti bahwa penjelasan ilmiah harus dapat diuji
secara empiris. Tujuh model penjelasan dasar telah diusulkan, yaitu:
deduktif-nomologi, model probabilistik, model fungsional attau teleologi, model
genetik, model pola, model peristiwa-peristiwa individual, dan model logis
empiris.
Model
deduktif-nomologi yang juga disebut sebagai hipotesis-deduktif dan meliputi
hukum atau hanya deduktif saja, memiliki struktur berikut ini
Pada
dasarnya
adalah karakteristik atau fakta-fakta dari
suatu fenomena tertentu dan
adalah hukuman atau hukum deterministik yang
universal. Karakteristik dan hukum yang
mengikat mereka adalah eksplanan yang secara deduktif menyatakan
eksplanandum secara tidak langsung. Model probabilistik berbeda dari model
deduktif-nomologi dengan mengandalkan pada probabilistik dari pada mempelajari
suatu hukum universalitas. Hukum statistika ini memiliki rumus:
P
(G,F) = r
Yang
berarti bahwa probabilitas G akibat F adalah r. Probabilitas ini dapat berupa
probabilitas matematis, frekuensi relatif, atau probabilitas subjektif.
Pernyataan probabilistik tidak secara formal dikonfirmasikan atau tidak
dikonfirmasikan.
Model
probabilistik dari penjelasan memiliki struktru berikut ini:
hukum
probabilistik P (G,F) = r menetapkan bahwa dengan memperhitungkan F, maka
probabilitas terjadinya G adalah r. Sebagai contoh, probabilitas dari suatu
perusahaan yang memiliki rasio pengungkit (leverage) yang sangat tinggi untuk
mengalami kebangkrutan tinggi.
model
fungsional atau teleologi penjelasan (fuctional or teleological—explanation
model) menjawab pertanyaan “mengapa” atas semua fenomena dengan mengacu kepada
fungsi-fungsi tertentu dari fenomena tersebut. penjelasan fungsional adalah bagian dari kelas umum penyelidikan filosofi
yang dikenal sebagai teleologi atau studi atas tujuan.
model
genetik-penjelasan (genetic-explanation model) menjawab pertanyaan “mengapa” atas suatu fenomena dengan mengacu kepada suatu kondisi
sebelumnya atau suatu urutan dari kondisi sebelumnya. Dikenal pula dengan nama
penjelasan historis (historiest explanation), ia mengacu pada suatu model
“dimana efek yang ditimbulkan oleh penyebab periode sebelumnya menjadi penyebab
dengan efek yang sama diperiode berikutnya”.
Model
pola (pattern model) dari penjelasan menjawab pertanyaan “mengapa” dengan
mencocokkan suatu fenomena ke dalam pola yang diketahui. Model
peristiwa-peristiwa individual (individual-events model) menjelaskan pertanyaan
“mengapa” dengan mengacu kepada penjelasan individual sebagai penjelasnya.
Model empiris (empiricist model) logis menjawab pertanyaan “mengapa” dengan
tidak mengacu kepada peristiwa individual namun kepada generalisasi empiris
yang menggolongkan dan secara induktif menggeneralisasi temuan-temuan yang ada.
Mengingat
jenis-jenis model penjelasan di atas, pertanyaannya adalah menjadi menentukan
salah satu kriteria yang akan membantu dalam evaluasi penjelasan.
3.3.4 Hakikat
Dari Prediksi
Apakah hubungan antara
penjelasan dengan prediksi? Hampel menjawab pertanyaan ini dari segi tesis
Identitas Struktural (thesis of structural identity) atau simetri struktural
(structural symmtetry): setiap penjelasan yang memdai adalah suatu potensi prediksi,
dan setiap prediksi yang memadai adalah suatu potensi penjelasan. Hampel dan
PA. Oppenheim memandang prediksi sebagai
suatu kasusu khusus dari penjelasan. Prediksi (prediction) itu sendiri adalah
berarti proses “pmbuatan deduksi dari peristiwa yang diketahui ke peristiwa
yang tidak diketahui dalam sebuah sistem
yang statis secara konseptual”. Sedangkan prediksi ilmiah (scientific
prediction) memiliki arti prediksi yang dipandu oleh aturan-aturan ilmiah.
Bunge membedakan antara prediksi ilmiah dengan tiga prediksi tidak ilmiah
yaitu, ekspektasi, tekanan, dan prognosis. Prediksi dapat dilakukan dengan
teknik eksplorasi yang memprediksi suatu variabel atas dasar dari variabel itu
sendiri, atau teknik asosiatif yang memprediksi suatu variabel atas dasar variabel
lain.
3.4 KONTEKS
PENEMUAN
Secara umum ada empat
prosedur yang digunakan untuk menghasilkan atau menemukan generalisasi, hukum,
atau teori-teori empiris: mimpi, eureka, pendekatan deduktif, dan pendekatan
induktif.
Mimpi mungkin adalah
salah satu prosedur penemuan yang memiliki peranan penting dalam penemuan
ilmiah. Cara eureka dapat menjadi salah satu prosedur penemuan juga.
Archimedes, melihat bahwa air di bak mandinya mengalami kenaikan ketika ia
berendam, meneriakkan “Eureka” saat ia menyadari bahwa tubuhnya yang terendam
dalam air akan “diambangkan” oleh kekuatan yang setara berat dengan cairan yang
dipindahkannya.
Pendekatan deduktif
adalah prosedur penemuan lainnya. Pendekatan deduktif terhadap penyusunan suatu
teori apa pun dimulai dengan dalil-dalil dan dilanjutkan untuk menghasilkan
kesimpulan logis atas subjek yang dipermasalahkan. Langkah-langkah yang
digunakan untuk menghasilkan suatu pendekatan deduktif akan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1. Menyatakan
tujuan dari laporan-laporan keuangan
2. Memilih
dalil-dalil akuntansi
3. Menghasilkan
prinsip-prinsip akuntansi
4. Mengembangkan
teknik-teknik akuntansi
Pendekatan
induktif juga merupakan prosedur penemuan. Pendekatan induktif bagi penyusunan
suatu teori di mulai dengan observasi serta pengukuran, dan selanjutnya
bergerak ke arah generalisasi
kesimpulan. Jika diterapkan dalam akuntansi, pendekatan induktif di mulai dari
observasi tentang informasi keuangan dari perusahaan bisnis dan diteruskan
dengan penyusunan generalisasi dan prinsip akuntansi atas dasar observasi
dengan basis hubungan yang terus berulang. Pendekatan induktif atas teori
melibatkan empat tahapan:
1. Mencatat
seluruh observasi yang dilakukan,
2. Menganalisis
dan mengklasifikasikan observasi-observasi ini untuk mendeteksi adanya hubungan
yang terus berulang,
3. Secara
induktif menghasilkan generalisasi dan prinsip-prinsip akuntansi dari
observasi-observasi yang menggambarkan
hubungan yang terus berulang,
4. Menguji
generalisasi tersebut.
Berbeda
dengan pendekatan deduktif, kebenaran atau kesalahan dari usulan yang diberikan
tidak bergantung kepada usulan lainnya melainkan harus diverifikasi secara
empiris. Dalam induksi, kebenaran dari usulan akan bergantung kepada
observasi atas contoh yang memadai dari
hubungan yang terus berulang.
3.5 KESIMPULAN
Riset akuntansi
seharusnya adalah untuk mengembangkan suatu metodologi pemikiran yang kuat baik
dalam penyusunan teori maupun pelaksanaan riset dasar dan terapan.
0 komentar:
Posting Komentar