Minggu, 21 September 2014

Akuntansi yang Dirancang

Diposting oleh Unknown di 08.13 0 komentar
Disusun Oleh:
1) Qonita Shabrina 120422425904
2) Ratna Ardiyanti 120422425905

Offering P
Jurusan S1 Akuntansi
Universitas Negeri Malang



AKUNTANSI YANG DIRANCANG

1.                  Hipotesis salah saji keuangan secara selektif
Informasi akuntansi pada dasarnya adalah wakil akuntansi yang dipergunakan oleh para pengambil keputusan yang tidak mengandalkan observasi kejadian-kejadian secara langsung. Suatu manipulasi dari perwakilan ini memberikan kesempatan kepada para pengambil keputusan untuk mengirimkan sinyal-sinyal yang membentuk persepsi orang-orang terhadap kinerja manajerial, yang dimungkinkan oleh adanya aturan-aturan yang arbitrer, rumit, dan menyesatkan. Hipotesis salah saji keuangan secara selektif diasumsikan melintasi kedua sektor publik dan pribadi “karena pada partisipan di kedua sektor tersebut dimotivasi untuk mendukung standar-standar yang secara selektif membuat salah saji dari realitas ekonomi ketika hal tersebut sesuai dengan tujuan mereka. Ini berlaku untuk para manajer, pemegang saham, auditor,d an penyusun standar.
1.         Para manajer lebih menyukai standar pelaporan yang “longgar” dibandingkan dengan standar yang berlaku ketat, karena hal ini memungkinkan (a)  pergesera laba di antara tahun yang lebih menguntungkan bagi pencapaian bonus, (b) memberikan kesan kepada pemegang saham, dan (c) melindungi posisi mereka dengan mencegah terjadinya pengambilalihan.
2.         Para pemegang saham juga mendapatkan keuntungan dari longgarnya standar jika dilihat dari perataan laba yang dilaporkan oleh manajer akan menurunkan volatilitas dari laba yang dilaporkan, menurunkan persepsi pasar atas risiko kegagalan dan meningkatkan nilai perusahaan.
3.         Auditor mungkin memilih aturan pelaporan yang sama yang didistorsikan realitas ekonomi untuk harmonisasi dengan klien, atau aturan yang kaku ketika mereka menginginkan tumbal yang kuat sebagai pelindung.
4.         penyusun standar mungkin memilih hipotesis salah saji yang dilakukan sendiri untuk proteksi pribadi dan altruisme.
5.         Para akademisi mungkin memilih hipotesis salah saji secara selektif karena memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengemukakan teori dan proposal sebagai imbalan atas kenaikan remunerasi dan gensi.
            Situasi ini menuntut adanya suatu perubahan dengan mengisolasi proses penentuan standar dari jangkauan regulator. Revsine mengusulkan proses empat langkah berikut ini:
1.         mendidik publik,
2.         memperbaiki proses pemeliharaan dan pengawasan para penyusun standar,
3.         menetapkan pengaturan pendanaan baru,
4.         menciptakan independensi bagi para pengusul standar.

2.         Perataan Laba
Pemakai laporan keuangan dapat dibedakan menjadi beberapa pihak yaitu : manajemen, pemegang saham, kreditor, pemerintah, karyawan perusahaan, pemasok, konsumen dan masyarakat umum lainnya yang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu pihak internal dan eksternal. Dari pihak-pihak tersebut, manajemen merupakan pihak yang berkewajiban menyusun laporan keuangan karena mereka berada di dalam perusahaan dan merupakan pengelola aktiva perusahaan secara langsung. Di lain pihak, pemegang saham, kreditor dan pemerintah sebagai pihak yang menanamkan modalnya pada perusahaan, memberikan pinjaman pada perusahaan serta memiliki kepentingan dalam kaitannya untuk memperoleh dana pembangunan dalam bentuk pajak merupakan pihak-pihak yang sangat berkepentingan dengan informasi laporan keuangan yang disiapkan oleh manajemen, tetapi tidak menyusun laporan keuangan. 
Di antara pihak-pihak yang telah disebutkan di atas, terdapat pertentangan kepentingan antara kelompok internal dan eksternal  yang dapat mendorong timbulnya konflik yang merugikan bagi pihak-pihak yang bertentangan tersebut. Pertentangan yang dapat terjadi antara pihak-pihak tersebut antara lain :
1.           Manajemen berkeinginan meningkatkan kesejahteraannya sedangkan pemegang saham berkeinginan meningkatkan kekayaannya;
2.           Manajemen berkeinginan memperoleh kredit sebesar mungkin dengan bunga rendah sedangkan kreditor hanya ingin memberi kredit sesuai dengan kemampuan perusahaan;
3.           Manajemen berkeinginan membayar pajak sekecil mungkin sedangkan pemerintah ingin memungut pajak setinggi mungkin.
Media komunikasi yang umum digunakan untuk menghubungkan pihak-pihak ini adalah laporan keuangan yang disusun oleh manajemen sebagai pihak internal untuk mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada pihak-pihak eksternal.
Secara umum, semua bagian dari laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan laba ditahan, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan adalah keseluruhan laporan keuangan yang disajikan. Kecenderungan lebih memperhatikan laba yang terdapat pada laporan laba rugi ditemukan oleh banyak peneliti (Ball and Brown 1968; Beaver et.al 1968, Ohlson and Shroff 1992). Situasi ini disadari oleh manajemen, terutama dari kalangan manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya disfunctional behaviour (perilaku yang tidak semestinya). Adapun bentuk perilaku yang tidak semestinya yang timbul dalam hubungannya dengan laba adalah praktik perataan laba (income smoothing).
Praktik perataan laba telah dikenal sebagai praktik yang logis dan rasional. Dalam penelitiannya, Beidleman (1973) percaya bahwa manajemen meratakan penghasilan untuk menciptakan laba yang stabil dan mengurangi covariance dari market return. Sedangkan Barnea, Ronen dan Sadan (1975) serta Ronen dan Sadan (1981) menyatakan bahwa perataan laba dilakukan oleh para manajer untuk mengurangi fluktuasi dari laba yang dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk meramalkan arus kas di masa datang. Pada intinya, praktik perataan laba ini diharapkan dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham serta penilaian kinerja manajer.
Berdasarkan pada pengaruh manipulasi terhadap laba, Ilmainir (1993) menyatakan bahwa usaha manajemen itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba dan usaha untuk mengurangi fluktuasi laba (perataan laba). Secara eksplisit, usaha untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba merupakan hipotesis dalam berbagai penelitian mengenai konsekuensi ekonomi dari pilihan akuntansi. Sedangkan usaha untuk mengurangi fluktuasi laba adalah suatu bentuk manipulasi laba agar jumlah laba suatu periode tidak terlalu berbeda dengan jumlah laba periode sebelumnya.  
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, praktik perataan laba merupakan fenomena yang umum dan dilakukan di banyak negara. Namun demikian, praktik perataan laba ini, jika dilakukan dengan sengaja dan dibuat-buat dapat menyebabkan pengungkapan laba yang tidak memadai atau menyesatkan. Sebagai akibatnya, investor mungkin tidak memperoleh informasi akurat yang memadai mengenai laba untuk mengevaluasi hasil dan risiko dari portofolio mereka. Penelitian yang tidak menyetujui adanya praktik perataan laba antara lain dilakukan oleh Hector (1989) yang menyatakan bahwa perataan laba sebagai penyalahgunaan yang umum dalam pelaporan keuangan seharusnya diwaspadai oleh pemakainya dan McHugh (1992) yang menyatakan bahwa perataan laba merupakan manipulasi dari laporan keuangan.
Gordon (1964) menyatakan bahwa perataan laba dapat mengurangi kesalahan dari pemegang saham dalam mengekstrapolasi laba periode lalu untuk memperkirakan laba di masa datang. Selanjutnya Ronen dan Sadan (1981) juga menyatakan bahwa perataan laba konsisten dengan keinginan manajemen untuk memaksimalkan kompensasi. Dye (1988) menunjukkan, dalam pengertian keagenan, bahwa manajer yang menolak risiko yang terbebas dari hutang dan pinjaman di pasar modal memiliki insentif untuk meratakan laba. Hal serupa juga dinyatakan oleh Trueman dan Titman (1988) yang menunjukkan bahwa meskipun dalam skenario pasar dengan kreditor, alternatif yang lebih disukai manajer adalah yang menghasilkan aliran laba yang lebih merata.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ashari dkk (1994), ditemukan ada praktik perataan laba pada perusahaan yang terdaftar di Singapore Stock Exchange. Ashari et al. melihat empat faktor sebagai faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba. Adapun faktor-faktor tersebut adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, jenis industri dan nasionalitas kepemilikan. Tetapi Ashari (1994) Jin dan Machfoedz (1998), dan Priyo (2001) tidak membuktikan bahwa hal-hal tersebut sebagai faktor yang mempengaruhi perataan laba. Ilmainir (1993) seperti yang dikutip Kiky (2002) menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak berpengaruhnya ukuran perusahaan terhadap perataan laba. Menurut pendapatnya, perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan pemerintah antara negara maju dan negara berkembang.

3.         Manajemen Laba
3.1       Pengertian Manajemen Laba
Copeland (1968 :10) dalam Utami (2005) mendefinisikan manajemen labasebagai, “some ability to increase or decrease reported net income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer. Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.
Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management). 
Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
3.2       Pengertian Manajemen Laba menurut ahli
Pengertian manajemen laba menurut Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
Pengertian manajemen laba menurut Assih dan Gudono (2000) manajemen laba adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.
Pengertian manajemen laba menurut Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen laba adalah tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Pengertian manajemen laba menurut Healy dan Wallen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Rahmawati dkk, 2006).
Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba. Manajemen laba tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan denganpemilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan GAAP. Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan resiko portofolionya (Ashari dkk, 1994 dalam Assih, 2004).
3.3       Faktor-faktor pendorong manajemen laba
Dalam Positif Accounting Theory terdapat tiga faktor pendorong yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:
1.      Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2.      Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994 dalam Rahmawati dkk, (2006). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3.      Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.

4.         Kreativitas dalam Akutansi
            4.1       Big Bath Accounting (Akuntansi mandi besar)
Taking Bath, atau disebut juga ‘big bath’. Pola ini dapat terjadi selama ada tekanan organisasional pada saat pergantian manajemen baru yaitu dengan mengakui adanya kegagalan atau defisit dikarenakan manajemen lama dan manajemen baru ingin menghindari kegagalan tersebut. Teknik ini juga dapat mengakui adanya biaya-biaya pada periode mendatang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan yang tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen melakukan ‘pembersihan diri’ dengan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang dan melakukan ‘clear the decks’. Akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
4.2       Akuntansi kreatif
·                     Pengertian Akuntansi Kreatif.
Banyak yang mengatakan bahwa akuntansi kreatif adalah sebuah kegiatan memanipulasi laporan keuangan guna menyajikan sebuah laporan sesuai keinginan.
Pengertian tersebut melekat pada istilah akuntansi kreatif. Namun tidak semua akuntansi kreatif itu adalah sebuah kecurangan. Misalnya saja penyederhanaan beberapa bentuk laporan atau penggabungan sebuah biaya menjadi satu dalam biaya lain-lain karena di anggap jarang timbul.
Namun memanglah akuntansi kreatif itu sendiri adalah tidak di benarkan ketika akan melakukan kecurangan dan manipulasi data keuangan.
·         Tujuan Akuntansi Kreatif.
Tujuan dari akuntansi kreatif ada bermacam-macam, misalnya saja untuk melakukan manipulasi data pajak atau untuk melancarkan pengajuan kredit keuangan kepada lembaga keuangan bank. Ada pula tujuan lain seperti menyembunyikan kinerja buruk perusahaan, menyembunyikan asset sebenarnya dari perusahaan dan masih banyak lagi contoh kasus-nya.
Kemunculan dari akuntansi kreatif biasanya di karenakan tuntutan pasar pada perusahaan untuk membuat kondisi menguntungkan.
·         Dampak akuntansi Kreatif
Dampak dari praktek akuntansi kreatif salah satunya adalah penurunan kualitas laporan keuangan perusahaan. Dan biasanya keputusan perusahaan hanya menguntungkan Mayoritas pemilik perusahaan sebagai pengontrol jalannya perusahaan.
Tenaga akuntan akan merasa terintimidasi di mana pimpinan perusahaan ingin membuat sebuah laporan keuangan yang sama sekali bertentangan dengan kaidah akuntansi yang ada dan tiga prinsip akuntan yaitu Jujur, Disiplin dan teliti. Dimana kejujuran seorang akuntan harus di hilangkan saat praktek akuntansi kreatif dipaksakan.
Maka memanglah sangat berbahaya ketika praktik akuntansi kreatif ini dilaksanakan oleh sebuah perusahaan yang di perintahkan langsung oleh pimpinan atau pemilik perusahaan. Karena controling atas kebenaran data adalah wewenang dari pihak perusahaan.
Namun tetap saja mudah dalam mendeteksi sebuah praktek akuntansi ini jika terjadi keteledoran dalam menyajikan data karena seorang akuntan juga tau cara membaca laporan yang ada keganjilan di dalamnya.

5.         Kecurangan dalam Akuntansi
            5.1       Kecurangan Korporat
Kecurangan korporat atau kejahatan ekonomi pada umumnya dilakukan oleh pejabat, eksekutif, dan/atau manajer pusat laba dari perusahaan publik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi jangka pendek mereka. Pada kenyataan, mungkin gaya manajemen yang berorientasi pada jangka pendek yang memnciptakan adanya kebutuhan untuk melakukan kecurangan korporat, mengingat tekanan untuk meningkatkan profitabilitas yang ada dalam mengahadapi kecilnya peluang, dan kebutuhan untuk mengambil risiko-risiko yang tidak bijaksana atas sumber daya perusahaan. Nyatanya, lebih dari sekedar tekanan untuk profitabilitas jangka pendek belaka, keserakahan ekonomi dan ketamakan juga menodai nilai-nilai sosial dan mengarah kepada kecurangan korporat.
            5.2       Kecurangan dalam pelaporan keuangan
·         Salah Saji Material (Material misstatement)
Kesalahan pencatatan akuntansi dapat menyebabkan salah saji material pada pelaporan keuangan. Salah saji material pada pelaporan keuangan mengacu pada pengertian bahwa keputusan pengguna laporan keuangan akan terpengaruh/terkecoh oleh ketidakakuratan informasi yang terjadi karena salah saji tersebut. Secara umum salah saji material dapat dikategorikan menjadi 2: kualitatif dan kuantitatif. Contoh salah saji yang kategori pertama adalah kesalahan pengelompokan rekening di pelaporan keuangan. Semisal pinjaman dari bank yang berumur kurang dari 1 tahun (current) dilaporkan di rekening pinjaman jangka panjang (non-current). Efek dari kesalahan ini bisa berakibat pada tidak akuratnya perhitungan rasio lancar (current ratio) dan perbandingan hutang pada modal (debt to equity ratio). Contoh salah saji kategori kedua adalah kesalahan pencatatan piutang dari pelanggan. Semisal, angka yang seharusnya $1.56 juta tercatat menjadi $1.65 juta akibat kesalahan analisis data. Hal ini menyebabkan aktiva perusahaan menjadi lebih besar dari seharusnya.
·         Kesalahan Akuntansi
Kesalahan pencatatan akuntansi juga bisa dikategorikan menjadi 2: kelalaian dan kecurangan. Kelalaian (error) mengacu pada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara tidak sengaja diakibatkan oleh salah perhitungan, salah pengukuran, salah estimasi serta salah interpretasi standar akuntansi. Kategori kedua, kecurangan (fraud) mengacu kepada kesalahan akuntansi yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan meyesatkan pembaca/pengguna laporan keuangan. Tindakan ini dilakukan dengan motivasi negatif guna mengambil keuntungan sebagian pihak. Singkatnya, kedua kategori kesalahan akuntansi di atas dibedakan oleh motif tujuannya, apakah sengaja (unintentional) atau sengaja (intentional).
·         Kecurangan Akuntansi
Karena kelalaian akuntansi sifatnya tidak disengaja dan standard akuntansi pun memberikan “ruang” untuk memperbaikinya, maka tipe kesalahan ini tidaklah terlalu patut untuk dirisaukan. Yang menjadi masalah saat ini adalah kesalahan akuntansi yang disengaja (fraud) yang selanjutnya akan kita sebut sebagai kesalahan akuntansi. Berdasarkan tipe transaksinya, kecurangan akuntansi dapat dibagi menjadi: menjual lebih banyak (selling more), pembebanan lebih sedikit (costing less), memiliki lebih banyak (owning more), memiliki lebih sedikit (owning less), menyajikan lebih baik (presenting it better) dan tipe lain kecurangan akuntansi (others).
5.3       Kejahatan kerah putih
                Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) adalah Suatu tindak kecurangan yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada sector pemerintahan atau sector swasta, yang memiliki posisi dan wewenang yang dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan keputusan.Menurut Federal Beureau Investigation (FBI) kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah berbohong, curang, dan mencuri. Istilah ini diciptakan pada tahun 1939 dan sekarang identik dengan berbagai macam penipuan yang dilakukan oleh para profesional bisnis dan pemerintah. Sebuah kejahatan tunggal dapat menghancurkan sebuah perusahaan, keluarga bahkan menghancurkan atau memusnahkan kehidupan mereka melalui tabungan, atau investasi biaya miliaran dolar (atau bahkan tiga, seperti dalam kasus Enron). Penipuan semakin canggih dari sebelumnya, dan diperlukan orang yang berdedikasi untuk menggunakan keterampilan melacak pelaku penipuan dan berhenti bahkan sebelum pelaku kejahatan mulai. Kejahatan kerah putih ini biasanya merupakan lanjutan dari kecurangan yang dilakukan oleh seseorang.
Menurut Dony Kleden Rohaniwan (2011) seorang Pemerhati politik, kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum.Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Contoh kejahatan kerah putih adalah pencucian uang (money laundering), penipuan kepailitan (fraud bankruptcy), penipuan perusahaan, penipuan kredit rumah, penipuan asuransi, penipuan saham dan efek, penipuan lewat internet, kredit fiktif, dan penipuan lain yang berhubungan dengan uang
Menurut Gunadi (2009) dalam kejahatan kerah putih yang juga disebut kejahatan keuangan berlaku beberapa aksioma yaitu:
·                  Kecurangan selalu tersembunyi.
·                  Pelaku tidak menandatangani dokumen (memerintahkan orang lain untuk menandatangani).
·                  Pelaku tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP).
·                  Pelaku ingin menikmati hasil kejahatannya.
Oleh karena itu, maka harus dilakukan investigasi yang tepat untuk merekam jejak transaksi finansial (follow the money) untuk menghasilkan temuan yang berkualitas dan sulit untuk dipungkiri.

5.4       Kegagalan audit
            Kegagalan audit adalah suatu situasi di dalam audit dimana auditor sampai pada dan/atau mengeluarkan pendapat auditor yang salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan-persyaratan/standar pemeriksaan yang berlaku. Bila terjadi kegagalan perusahaan, mungkin terdapat atau tidak terdapat kegagalan audit.
Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan pendapat wajar tanpa pengecualian, namun pada kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan semua kesalahan laporan keuangan yang material. Audit terbatas pada pemilihan sampel, dan kesalahan yang disembunyikan dengan sangat rapi sulit ditemukan. Karenanya ada risiko bahwa audit tidak akan mengungkapkan kesalahan yang materil dalam laporan keuangan. 
Kebanyakan profesional akuntansi setuju bila auditor gagal mengungkapkan kesalahan yang material lalu pendapat auditor tersebut salah maka akuntan publik tersebut diminta tetap mempertahankan kualitas auditnya, berarti terjadi kegagalan audit, dan kantor akuntan tersebut harus bertanggung jawab kepada mereka yang menderita kerugian itu. Dalam prakteknya sulit untuk menentukan bilamana auditor gagal menggunakan keahliannya karena rumitnya proses auditing. Namun begitu, auditor yang gagal dalam menjalankan praktik auditnya dapat berakibat buruk bagi kantor akuntannya. 

Kesulitan timbul bila terjadi kegagalan dalam perusahaan, tetapi bukan kegagalan audit . apabila sebuah perusahaan pailit, atau tidak dapat membayar hutang-hutangnya, maka pemakai laporan keuangan umumnya mengklaim telah terjadi kegagalan audit khususnya apabila pendapat auditor terakhir menyatakan laporan keuangan tersebut wajar.

[BAB 3] Teori Akuntansi - Elemen dan Struktur Teori Akuntansi

Diposting oleh Unknown di 08.10 0 komentar
Disusun Oleh:
1) Qonita Shabrina 120422425904
2) Ratna Ardiyanti 120422425905

Offering P
Jurusan S1 Akuntansi
Universitas Negeri Malang



ELEMEN DAN STRUKTUR TEORI AKUNTANSI

3.1       PEMIKIRAN MENGENAI TEORI
            3.1.1    Jenis Struktur Teoritis
            3.1.2    Fungsi dan Struktur Teori
            3.1.3    Evaluasi Teori
            3.1.4    Teori Umum Versus Teori Menengah Tentang Aakuntansi
3.2       PEMIKIRAN MENGENAI KONSEP
            3.2.1    Hakikat dan Pentingnya Konsep
            3.2.2    Validitas Konsep
3.3       MENANGANI HIPOTESIS
            3.3.1    Dari Dalil ke Hipotesis
            3.3.2    Konfirmasi Atas Hipotesis
            3.3.3    Hakikat Dari Penjelasan
            3.3.4    Hakikat Dari  Prediksi
3.4       KONTEKS PENEMUAN
3.5       KESIMPULAN

***

3.1       PEMIKIRAN MENGENAI TEORI
3.1.1    Jenis Struktur Teoritis
Definisi dari teori dinyatakan oleh Mario Bunge secara spesifik dan mendetail berikut ini:
Dalam bahasa dan metascience umu, istilah “hipotesis”, “hukum” dan “teori” sering tertukar. Kadang kala hukum dan teori dianggap sebagai bentuk lanjut dari hipotesis. Dalam ilmu lanjutan dan metascience kontemporer, ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan: “hukum”  atau “rumusan hukum” menunjuk kepada suatu jenis hipotesis tertentu yaitu non-tunggal, non-terisolasi, mengacu kepada suatu pola, serta membenarkan; dan “teori” menunjukkan kepada suatu sistem hipotesis, dimana rumusan hukum terlihat jelas diantaranya sedemikian sehingga inti dari teori adalah suatu sistem dari rumusan hukum.
Unsur-unsur yang terkandung dalam suatu teori adalah konsep, dalil, dan hipotesis yang saling berhubungan dalam sebuah struktur sistematis yang memungkinkan diberikannya penjelasan dan prediksi. Sekumpulan dalil yang secara sistematis berhubungan dan membentuk hipotesis dari suatu teori adalah bahan dasar yang penting dari teori. Hubungan yang sistematis dari hipotesis saling berhubungan ini diperoleh melalui formalisasi suatu teori, yaitu dengan menggunakan sebuah sistem bahasa formal yang telah diaksiomasi dan diartikan dengan tepat.
Teori deduktif lengkap (deductively complete theories)  memiliki “sebuah struktur formal yang lengkap dengan aksioma-aksioma yang telah dijelaskan secara penuh dan seluruh langkah-langkah dalam perluasan deduktifnya dinyatakan dengan lengkap. Ada juga yang disebut dengan teori hierarki (hierarchical theories) dan didefinisikan sebagai teori-teori dimana “hukum-hukum komponennya disajikan sebagai deduksi dari satu kumpulan kecil prinsip dasar. Prapengandalan sistematis (systematic presuppositions) meliputi formulasi yang mengandalkan sebelumnya suatu isi dari teori yang lengkap atau lengkap sebagian. Teori kuasi-deduktif (quasi-deductive theories) adlah teori dengan deduktif-kuasi (seolah-olah0 karena menggunakan logika induktif, penggunaan deduktif yang tidak lengkap atau mengandalkan pada primitif relatif. Percobaan-percobaan teoretis (theoretical attempts) sistem yang dapat “tanpa modifikasi yang signifikan pada konsep atau manipulasi, dapat dibuat paling tidak sebagian menjadi sebuah struktur formal” pada sistem variabel yang “bahkan sebagian tidak dapat diformalisasi  tanpa modifikasi yang substansial atas konsep yang digunakan dan diklarifikasi dari hubungan deduktif yang  diusulkan. Teori yang saling berhubungan (concatenated theories) adalah teori “ yang hukum komponennya bekerja dalam jaringan hubungan sehingga membentuk suatu konfigurasi atau pola yang diidentifikasi.

3.1.2    Fungsi dan Struktur Teori
            Teori dapat diidentifikasikan melalui struktur dan fungsi yang dijalankan. Baik struktur dan fungsi dari suatu teori  akan membatu memenuhi kebutuhan dari disiplin ilmu tertentu. John Harvard dan  Sheth Jagdish, mengklasifikasikan fungsi menjadi empat kategori:
1.      Fungsi dekriptif (description function) mencakup penggunaan gagasan atau konsep dan hubungan yang dimiliki untuk memberikan penjelasan terbaik atas suatu fenomena dan kekuatan yang mendasarinya.
2.      Fungsi Pembatasan (delimiting fuction) mencakup pemilihan suatu kumpulan peristiwa favorit yang harus dijelaskan dan memberikan suatu arti atas abstraksi yang diformulasikan dari tahapan deskriptif tersebut.
3.      Fungsi generatif (generative fuction) adalah kemampuan untuk menghasilkan hipotesis yang dapat diuji, yang merupakan tujuan utama dari suatu teori, atau untuk memberikan prasangka, pemikiran, dan ide yang menjadi dasar pengembangan suatu hipotesis.
4.      Fungsi integratif (integrative fuction) adalah kemampuan untuk menyajikan secara koheren dan konsisten, integrasi dari berbagai konsep dan hubungan dalam suatu teori.

Tingkat abstraksi (level of abstraction) meliputi penyederhanaan dan generalisasi dari konsep dan hubungan untuk menghilangkan fitur-fitur yang kurang relevan dalam menjelaskan suatu fenomena. Keunggulan dari abstraksi adalah semakin tinggi abstraksinya maka semakin tinggi generalisasi dalam teori. Oleh karena itu, gagasannya kurang akan operasional  dan lebih bersifat hipotesis.
Permasalahan mengenai realisme versus idealisme (realism versus idealism) mencerminkan dilema yang dihadapi oleh para peneliti dalam mengambil posisi “idealis” atau “realistis”. Para realis berpikir bahwa dunia telah memberikan mereka satu struktur yang harus mereka temukan. Sedangkan para idealis menyakini bahwa tidak terdapat dunia realitas eksternal dan riset yang dilakukan adalah untuk menciptakan struktur bukan menemukannya.
Permasalahan mengenai objektivitas versus subjektivitas (objectivism versus subjectivism)  mencerminkan dilema yang dihadapi oleh para peneliti dalam memandang suatu konsep  dan usaha secara objektif, yaitu dengan memberikan suatu arti yang umum, atau secara subjektif yaitu, memberikan mereka arti pribadi yang unik.
Permasalahan mengenai introspeksi versus ekstrospeksi (introspection versus extrospection) mencerminkan dilema yang dihadapi oleh para peneliti berkenaan dengan apakah memformulasikan teori secara introspektif, yaitu dari sudut pandang objek yang menjadi studi, atau secara ekstrospektif, yaitu dari sudut pandang peneliti sebagai orang pengamat.
Tingkat formalitas (level of formality) muncul dari adanya kebutuhan dalam situasi tertentu untuk memberikan suatu teori formal secara khusus dan seragam mengintegrasikan seluruh aspek teori yang relevan, dan dalam situasi yang lain memberikan suatu informasi nonformal yang memiliki ciri-ciri kurang jelasnya gagasan yang menyatukan.

3.1.3    Evaluasi Teori
Karl Kopper mengusulkan kriteria evaluasi, yaitu konsistensi internal, bentuk logid, perbandingan dengan teori-teori lain, dan uji empiris. Dari 70 kriteria teori yang “baik” seperti yang diungkapkan S.C Dodd memilih 24 kriteria evaluasi yang paling relevan yang disusun verikut ini dengan urutan dari yang paling penting: dapat diverifikasi (verifiability), dapat diprediksi (predicitivity), konsisten (consistency), andal (reliability), akurat (accuracy), umum (general), utilitas (utility), penting (importancy), multi penerapan (multipliability), memiliki satu arti (universal), dapat dikendalikan (controllability), dapat distandarkan (standardizability), sinergi (synergy), kehematan (parsimony), kesederhanaan (simplicity), stabilitas (stability), keseringan (recurrency), kemampuan untuk diterjemahkan (translatability), kelangsungan (durativity), ketahanan (durability), pengenalan (acquaintancy), kepopuleran (popularity), kemanjuran (afficacy), densitas (density).
Bunge menyajikan skema komprehensif yang terdiri atas 20 kriteria evaluasi teori, yang dikelompokkan menjadi: kriteria formal, kriteria semantik, kriteria epistemologi, kriteria metodologi, dan kriteria metafisika.

3.1.4    Teori Umum Versus Teori Menengah Tentang Aakuntansi
            Suatu teori didefinisikan sebagai “suatu gagasan (konsep), definisi, dan usulan yang saling bergantung satu sama lain, yang menyajikan suatu pandangan yang sistematis dari suatu fenomena dengan menyatakan hubungan-hubungan yang ada di antara berbagai variabel dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut.
            Munculnya upaya-upaya yang terfragmentasi menunjukkan pentingnya teori-teori menengah bagi bidang akuntansi, dimana istilah teori menengah (theories of the middle range) telah diperkenalkan dan didefinisikan oleh Robert Merton sebagai “teori yang berada di antara hipotesis minor maupun sangat banyak dikembangkan selama riset dari hari ke hari dan usaha-usha sistematis yang lengkap untuk mengembangkan suatu teori yang menyatukan.
            Teori akuntansi menengah diakibatkan oleh adanya perbedaan yang terjadi dalam  cara para meneliti mengartikan baik “pengguna” dari data akuntansi maupun “lingkungan” di masa para pengguna dan pembuat data akuntansi seharusnya bertingkah laku. Perbedaan ini akhirnya mengarahkan Komite  Konsep dan Standar untuk Laporan Keuangan Eksternal (Commitee on Concepts and Standards for External Financial Reports) dari American Accounting  Association  untuk menarik kesimpulan bahawa:
1.      Tidak ada satu pun aturan teori akuntansi keuangan yang cukup luas untuk mencakup seluruh jajaran spesifikasi dari pengguna lingkungan secara efektif.
2.      Yang tercantum dalam literatur akuntansi bukanlah suatu teori akuntansi kuangan melainkan sekumpulan teori yang dapat diatur sesuai dengan perbedaan yang terdapat dalam spesifikasi dari pengguna-lingkungan.

3.2       PEMIKIRAN MENGENAI KONSEP

3.2.1    Hakikat dan Pentingnya Konsep
            Konsep secara fundamental adalah sesuatu yang penting, baik dalam akuntansi maupun dalam ilmu yang lain. Pengetahuan ilmiah adalah sepenuhnya “konseptual” terdiri atas sistem-sistem konsep yang saling berhubungan dengan cara yang berbeda. Konsep adalah unit utama dari suatu teori, dan pembuatan teori yang baik mengandung artian pembentukan konsep yang baik. Suatu konsep dibuat dengan mengacu kepada karakteristik atau fenomena yang dapat diidentifikasikan.
            Suatu  konsep dapat berupa beragam jenis, suatu pembedanya adalah dari segi konsep formal versus nonoformal, dimana konsep nonformal tidak seperti formal, mengacu kepada beberapa aspek dari dunia nyata. Jenis yang lain meliputi konsep observasional, konsep-konsep teoritis, dan konsep-konsep disposisi. Konsep obervasional adalah konsep yang memiliki “karakteristik objek tertentu yang dapat diobservasi secara langsung, yaitu sifat atau hubungan yang kehadiran maupun ketidakhadirannya di suatu kasus tertentu dapat dipastikan secara intersubjektif, dalam kondisi-kondisi yang sesuai oleh observasi langsung” atau “yang kehadiran maupun ketidakhadirannya dapat dipastikan”
            Konsep teoritis (theoretical concept) adalah konsep yang memainkan peranan khusus dan terkandung dalam suatu teori. Konsep disposisi (disposition concept) mengacu kepada suatu kecenderungan “untuk menunjukkan reaksi yang spesifik menurut kondisi tertentu yang dapat ditetapkan. Definisi yang berorientasi  perilaku dapat dinyatakan sebagai berikut: (konsep-konep) ini menguraikan disposisi dari suatu objek atau organisme untuk menunjukkan satu karakteristik atau respons tertentu dibawah kondisi stimulasi tertentu.

3.2.2    Validitas Konsep
            Meskipun kebanyakan konsep keuangan dalam akuntansi telah didefinisikan dengan cukup memadai, hanya sedikit diantaranya yang telah divalidasi. Digunakan dua pendekatan untuk melakukan validasi. Pertama-taa, yang dikenal dengan istilah operasional, menyatakan bahwa yang valid hanyalah konsep observasional. Tujuan dari operasionalisme adalah untuk “membebaskan ilmu pengetahuan dari ketergantungan apapun komitmen “metafisika” yang tidak dapat diverifikasi”. Pendekatan yang kedua berfokus pada pengembangan pengukuran validitas konsep untuk mengvaluasi sejauh mana suatu instrumen dapat mengukur konsep yang sedang dipertimbangkan. Zaliman dan rekan memberikan daftar yang lengkap dan didefinisikan dengan baik yang memuat jenis validitas konsep yang terdapat dalam literatur riset.
1.      Validitas observasional: tingkat sampai dimana suatu konsep dapat disederhanakan oleh observasi.
2.      Validitas isi: tingkat dimana suatu konsep operasionalisasi mencerminkan konsep yang hendak yang dibuat generalisasinya.
3.      Validitas yang berhubungan dengan kriteria: tingkat sampai dimana konsep yang sedang dinilai memungkinkan seseorang untuk meramalkan nilai dari beberapa konsep yang lain yang membentuk kriteria.
a.       Validitas prediktif: subjenis dari validitas yang berhubungan dengan kriteria dimana kriteria yang diukur dalam waktu yang terpisah dari konsep si prediktor,
b.      Validitas konkuren(bersamaan): sebjenis dari validitas yang berhubungan dengan kriteria dimana konsep kriteria dan prediktor dapat diukur pada waktu yang sama.

4.      Validitas gagasan: sampai sejauh mana operasionalisasi mengukur konsep yang seharusnya ia ukur.
a.       Validitas konvergen: tingkat sampai dimana dua usaha percobaan untuk mengukur konsep yang sama melalui metode-metode yang berbeda secara maksimal adalah konvergen.  Ia biasanya dinyatakan oleh korelasi yang terjadi diantara  dua usaha percobaan tersebut,
b.      Validitas  diskriminan: sampai sejauh mana suatu konsep berbeda dengan konsep yang lainnya,
c.       Validitas nomologi: sampai sejauh mana suatu prediksi yang didasarkan atas konsep yang dimaksudkan untuk diukur oleh suatu instrumen dapat dikonfirmasi.
5.      Validitas sistemik: tingkat sampai dimana suatu konsep memugkinkan adanya integrasi dari konsep-konsep yang sebelumnya tidak saling berhubungan dan/atau pembuatan suatu sistem konseptual yang baru.
6.      Validitas semantik: tingkat sampai dimana suatu konsep memiliki penggunaan semantik yang seragam.
7.      Validitas  pengendalian: tingkat sampai dimana suatu konsep dapat dimanipulasi dan mampu mempengaruhi variabel lain yang berpengaruh.

3.3       MENANGANI HIPOTESIS
3.3.1    Dari Dalil ke Hipotesis
            Dalil dapat menjadi hipotesis jika mereka mengacu kepada fakta-fakta yang tidak berpengalaman dan pada waktu yang bersamaan dapat diperbaruhi berdasarkan atas pengetahuan yang bariu diperoleh. Karakteristik utama dari subuah hipotesis adalah kemampuan untuk diuji secara empiris. Sifat dari pengujian yang diberikan akan bergantung kepada apakah dalil yang diberikan akan bersifat analitis atau sistetis. Dalil analitis hanya dapat dinyatakan benar atau salah secara logis. Dalil sintetis yang memiliki signifikansi empiris dapat mejadi subjek dari suatu ujian empiris.
            Suatu hipotesis, oleh karenanya adalah dalil mengenai suatu hubungan yang kebenaran  atau kesalahannya masih harus ditentukan oleh suatu ujian empiris. Kemungkinan  untuk dikatakan benar dapat diperoleh dengan mengambil sampel dari konsekuesi logisnya dan mengkonfirmasikan bahwa sampel tersebut adalah benar.

3.3.2    Konfirmasi Atas Hipotesis
Terdapat suatu metodologi yang diterima umum oleh seluruh ilmu pengetahuan untuk membenarkan suatu pengetahuan. Metodologi tersebut terletak dalam penentuan apakah suatu nilai kebenaran dapat secara prinnsip ditempatkan sebagai hipotesis yaitu, apakah ia dapat disanggah, dikonfirmasikan, dibuktikan kesalahannya atau diverifikasi. Konfirmasi (confirmation) adalah sampai sejauh mana suatu hipotesis mampu menunjukkan kebenaran secara empiris yaitu, menggambarkan dunia nyata dengan akurat. Pembuktian kesalahan (falsification) adalah sampai sejauh mana suatu hipotesis mampu menunjukkan bahwa ia secara empiris tidak benar, yaitu gagal untuk menggambarkan dunia nyata dengan akurat.
Hipotesis yang semata-mata dapat dikonfirmasikan (purely confirmable hypoteses) datang dari pernyataan eksistensial, yaitu pernyataan yang mengajukan eksistensi dari beberapa fenomena. Hipotesis yang semata-mata dapat disanggah (purely refutable hypoteses) datang dari hukum universal, yaitu pernyataan yang dapat mengambil bentuk dari persyaratan generalisasi yang universal.
Kedua hipotesis yang dapat dikonfirmasi dan disanggah tersebut datang dari pernyataan tunggal, yaitu pernyataan yang  hanya mengacu kepada fenomena tertentu yang terkait dalam waktu dan ruang.
Pembuktian kesalahan atau konfirmasi  dilakukan melalui  kesaksian yang berulang-ulang dan bukti-bukti baru. Jika suatu pengujian memadai yang dilakukan berulang-ulang memperkuat suatu hipotesis, maka secara rata-rata ia akan menjadi suatu generalisasi atau hukum yang benar secara universal dan empiris.

3.3.3    Hakikat Dari Penjelasan
Penjelasan adalah langkah vital dari seluruh jenis pertanyaan ilmiah. Ernest Nagel menyatakan bahwa “tujuan khusus dari suatu usaha ilmiah adalah untuk memberikan penjelasan yang sistematis dan  didukung secara bertanggung jawab. Model-model penjelasan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut ini:
1.    Persyaratan akan relevansi penjelasan berarti bahwa model penjelasan harus bagaimana pun caranya menunjukkan bahwa fenomena yang akan dijelaskan adalah telah diekspektasikan mengingat kondisi-kondisi yang ada. Relevansi penjelasan  tercapai ketika “informasi yang mengemukakan dasar untuk mempercayai bahwa fenomena yang akan dijelaskan memang atau telah benar-benar terjadi.
2.    Persyaratan akan kemampuan untuk diuji berarti bahwa penjelasan ilmiah harus dapat diuji secara empiris. Tujuh model penjelasan dasar telah diusulkan, yaitu: deduktif-nomologi, model probabilistik, model fungsional attau teleologi, model genetik, model pola, model peristiwa-peristiwa individual, dan model logis empiris.

Model deduktif-nomologi yang juga disebut sebagai hipotesis-deduktif dan meliputi hukum atau hanya deduktif saja, memiliki struktur berikut ini
    

                                                            E                                                         

Pada dasarnya  adalah karakteristik atau fakta-fakta dari suatu fenomena tertentu dan  adalah hukuman atau hukum deterministik yang universal. Karakteristik dan hukum yang  mengikat mereka adalah eksplanan yang secara deduktif menyatakan eksplanandum secara tidak langsung. Model probabilistik berbeda dari model deduktif-nomologi dengan mengandalkan pada probabilistik dari pada mempelajari suatu hukum universalitas. Hukum statistika ini memiliki rumus:
                                                P (G,F) = r

Yang berarti bahwa probabilitas G akibat F adalah r. Probabilitas ini dapat berupa probabilitas matematis, frekuensi relatif, atau probabilitas subjektif. Pernyataan probabilistik tidak secara formal dikonfirmasikan atau tidak dikonfirmasikan.
Model probabilistik dari penjelasan memiliki struktru berikut ini:
                                              



hukum probabilistik P (G,F) = r menetapkan bahwa dengan memperhitungkan F, maka probabilitas terjadinya G adalah r. Sebagai contoh, probabilitas dari suatu perusahaan yang memiliki rasio pengungkit (leverage) yang sangat tinggi untuk mengalami kebangkrutan tinggi.
                                               


model fungsional atau teleologi penjelasan (fuctional or teleological—explanation model) menjawab pertanyaan “mengapa” atas semua fenomena dengan mengacu kepada fungsi-fungsi tertentu dari fenomena tersebut. penjelasan fungsional adalah  bagian dari kelas umum penyelidikan filosofi yang dikenal sebagai teleologi atau studi atas tujuan.
model genetik-penjelasan (genetic-explanation model) menjawab  pertanyaan “mengapa” atas suatu  fenomena dengan mengacu kepada suatu kondisi sebelumnya atau suatu urutan dari kondisi sebelumnya. Dikenal pula dengan nama penjelasan historis (historiest explanation), ia mengacu pada suatu model “dimana efek yang ditimbulkan oleh penyebab periode sebelumnya menjadi penyebab dengan efek yang sama diperiode berikutnya”.
Model pola (pattern model) dari penjelasan menjawab pertanyaan “mengapa” dengan mencocokkan suatu fenomena ke dalam pola yang diketahui. Model peristiwa-peristiwa individual (individual-events model) menjelaskan pertanyaan “mengapa” dengan mengacu kepada penjelasan individual sebagai penjelasnya. Model empiris (empiricist model) logis menjawab pertanyaan “mengapa” dengan tidak mengacu kepada peristiwa individual namun kepada generalisasi empiris yang menggolongkan dan secara induktif menggeneralisasi temuan-temuan yang ada.
Mengingat jenis-jenis model penjelasan di atas, pertanyaannya adalah menjadi menentukan salah satu kriteria yang akan membantu dalam evaluasi penjelasan.

3.3.4    Hakikat Dari  Prediksi
Apakah hubungan antara penjelasan dengan prediksi? Hampel menjawab pertanyaan ini dari segi tesis Identitas Struktural (thesis of structural identity) atau simetri struktural (structural symmtetry): setiap penjelasan yang memdai adalah suatu potensi prediksi, dan setiap prediksi yang memadai adalah suatu potensi penjelasan. Hampel dan PA. Oppenheim memandang  prediksi sebagai suatu kasusu khusus dari penjelasan. Prediksi (prediction) itu sendiri adalah berarti proses “pmbuatan deduksi dari peristiwa yang diketahui ke peristiwa yang tidak diketahui  dalam sebuah sistem yang statis secara konseptual”. Sedangkan prediksi ilmiah (scientific prediction) memiliki arti prediksi yang dipandu oleh aturan-aturan ilmiah. Bunge membedakan antara prediksi ilmiah dengan tiga prediksi tidak ilmiah yaitu, ekspektasi, tekanan, dan prognosis. Prediksi dapat dilakukan dengan teknik eksplorasi yang memprediksi suatu variabel atas dasar dari variabel itu sendiri, atau teknik asosiatif yang memprediksi suatu variabel atas dasar variabel lain.

3.4       KONTEKS PENEMUAN
Secara umum ada empat prosedur yang digunakan untuk menghasilkan atau menemukan generalisasi, hukum, atau teori-teori empiris: mimpi, eureka, pendekatan deduktif, dan pendekatan induktif.
Mimpi mungkin adalah salah satu prosedur penemuan yang memiliki peranan penting dalam penemuan ilmiah. Cara eureka dapat menjadi salah satu prosedur penemuan juga. Archimedes, melihat bahwa air di bak mandinya mengalami kenaikan ketika ia berendam, meneriakkan “Eureka” saat ia menyadari bahwa tubuhnya yang terendam dalam air akan “diambangkan” oleh kekuatan yang setara berat dengan cairan yang dipindahkannya.
Pendekatan deduktif adalah prosedur penemuan lainnya. Pendekatan deduktif terhadap penyusunan suatu teori apa pun dimulai dengan dalil-dalil dan dilanjutkan untuk menghasilkan kesimpulan logis atas subjek yang dipermasalahkan. Langkah-langkah yang digunakan untuk menghasilkan suatu pendekatan deduktif akan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.    Menyatakan tujuan dari laporan-laporan keuangan
2.    Memilih dalil-dalil akuntansi
3.    Menghasilkan prinsip-prinsip akuntansi
4.    Mengembangkan teknik-teknik akuntansi
Pendekatan induktif juga merupakan prosedur penemuan. Pendekatan induktif bagi penyusunan suatu teori di mulai dengan observasi serta pengukuran, dan selanjutnya bergerak ke arah  generalisasi kesimpulan. Jika diterapkan dalam akuntansi, pendekatan induktif di mulai dari observasi tentang informasi keuangan dari perusahaan bisnis dan diteruskan dengan penyusunan generalisasi dan prinsip akuntansi atas dasar observasi dengan basis hubungan yang terus berulang. Pendekatan induktif atas teori melibatkan empat tahapan:
1.    Mencatat seluruh observasi yang dilakukan,
2. Menganalisis dan mengklasifikasikan observasi-observasi ini untuk mendeteksi adanya hubungan yang terus berulang,
3. Secara induktif menghasilkan generalisasi dan prinsip-prinsip akuntansi dari observasi-observasi yang menggambarkan  hubungan yang terus berulang,
4.    Menguji generalisasi tersebut.
Berbeda dengan pendekatan deduktif, kebenaran atau kesalahan dari usulan yang diberikan tidak bergantung kepada usulan lainnya melainkan harus diverifikasi secara empiris. Dalam induksi, kebenaran dari usulan akan bergantung kepada observasi  atas contoh yang memadai dari hubungan yang terus berulang.

3.5       KESIMPULAN

Riset akuntansi seharusnya adalah untuk mengembangkan suatu metodologi pemikiran yang kuat baik dalam penyusunan teori maupun pelaksanaan riset dasar dan terapan. 
 

a drop of happiness Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review